TAJDID.ID~Medan || Kasus hukum yang menimpa Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto kerap dibandingkan publik. Namun, pengamat politik Shohibul Anshor Siregar menilai keduanya bak “antara langit dan bumi.”
Berita terkait: Sorotan Tajam atas Amicus Curiae untuk Hasto Kristiyanto: Ketika Kebingungan Moral Menguji Nalar Intelektual
Dalam wawancara mendalam, Siregar menegaskan bahwa Lembong cenderung menjadi korban kriminalisasi politik, sedangkan Hasto terjerat praktik politik transaksional yang jelas terlihat.
Bayang-Bayang Kriminalisasi: Kasus Tom Lembong
Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan 2015–2016, divonis 4,5 tahun penjara terkait pengaturan impor gula. Hakim menilai kebijakan tersebut merugikan negara, namun tidak ada bukti bahwa Lembong memperkaya diri. Media internasional seperti The Australian menyoroti vonis ini sebagai sinyal kemunduran demokrasi Indonesia.
“Jika hukum dipakai untuk menekan lawan politik, ini menunjukkan kita sedang bergerak mundur dari prinsip demokrasi,” ujar Siregar, Sabtu (26/7)
Menurut Reuters, vonis ini memunculkan kekhawatiran investor internasional mengenai kepastian hukum di Indonesia. Lembong, yang dikenal dekat dengan oposisi, dianggap sebagai simbol integritas teknokrat yang kini justru berada di bawah tekanan politik.
Suap dan Perintangan: Kasus Hasto Kristiyanto
Berbeda dengan Lembong, Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP, terjerat kasus suap untuk pengisian kursi DPR melalui Harun Masiku. Ia juga didakwa melakukan perintangan penyidikan dengan menginstruksikan penghancuran bukti. Hakim bahkan secara terbuka menegur Hasto untuk lebih jujur jika ingin pembelaannya diterima.
Pada persidangan, Hasto divonis 3,5 tahun penjara, lebih ringan dari tuntutan tujuh tahun, namun unsur suap dinyatakan terbukti secara sah. “Kasus Hasto adalah potret nyata politik transaksional yang mencederai demokrasi,” ujar Siregar.
“Ketidakjujurannya di pengadilan menambah keraguan publik terhadap integritas elit politik.” imbuhnya.
Antara Langit dan Bumi
Menurut Siregar, membandingkan Hasto dengan Lembong adalah upaya keliru yang justru memperjelas perbedaan karakter kedua kasus. Lembong dipandang sebagai korban kriminalisasi politik, sementara Hasto terseret praktik politik kotor dengan bukti suap yang nyata.
“Publik wajar meragukan kejujuran Hasto, karena bukti persidangan menunjukkan hal yang berbeda.” tegasnya. (*)