TAJDID~Medan || Musim kemarau yang melanda Indonesia pada pertengahan 2025 menunjukkan eskalasi dampak kekeringan di berbagai daerah, khususnya Jawa, NTB, dan NTT.
Kondisi ini semakin menegaskan bahwa isu krisis iklim global belum mendapatkan jawaban solutif dari kebijakan nasional.
Shohibul Anshor Siregar, pengamat kebijakan publik, menyatakan bahwa Indonesia masih berada pada tahap retorika, belum pada aksi teknis yang mampu mengantisipasi bencana.
“Perubahan iklim bagi kita lebih mirip gaya wacana ketimbang kebijakan yang solusional. Padahal, kerugian sosial dan ekonomi dari kekeringan bisa jauh lebih besar daripada biaya untuk riset dan teknologi mitigasi,” tegas Siregar.
Kondisi Iklim Kekeringan 2025
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), musim kemarau 2025 diperkirakan bersifat normal secara umum dengan sekitar 60% wilayah Indonesia mengalami pola kemarau serupa rata-rata, 26% lebih basah, dan 14% lebih kering dari biasanya.
Puncak kemarau diprediksi terjadi Juni–Agustus 2025, dengan wilayah paling terdampak meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku.
Di Pulau Jawa, kemarau mengalami kemunduran awal hingga akhir Mei, dengan curah hujan rendah 0–50 mm/dasarian dan hari tanpa hujan berturut-turut (HTH) lebih dari 60 hari di beberapa wilayah.
Data BNPB mencatat tren kekeringan di Jawa meningkat, dengan 49 kejadian pada 2023 yang memengaruhi 428.749 jiwa, naik tajam dari 15 kejadian pada 2022.
Sedangkan NTB dan NTT hampir seluruhnya mengalami curah hujan sangat rendah hingga rendah sejak April–Mei 2025.
Status Siaga (HTH ≥31 hari) dan Awas (HTH ≥61 hari) tercatat di sejumlah kabupaten seperti Bima, Sumbawa, Alor, Belu, dan Timor Tengah Selatan.
Data historis BNPB menyebutkan bahwa kekeringan di NTT pernah mempengaruhi lebih dari 866.000 warga pada 2018, dengan pasokan air bersih dan pertanian sangat terganggu.
“Bencana kekeringan di Jawa, NTB, dan NTT bukan kejadian baru. Tetapi, pola mitigasi teknologinya selalu lambat, sementara potensi teknologi rekayasa cuaca seperti hujan buatan seharusnya menjadi agenda rutin,” kata Siregar.
Semua data itu selalu tunduk pada rumus peluang perubahan yang dapat saja tak menentu sesuai watak krisis iklim global dan itu merekomendasikan kesiapsiagaan.
Teknologi dan Investasi yang Mandek
Menurut Siregar, kendala klasik yang sering dijadikan alasan adalah keterbatasan biaya dan investasi.
“Kita tidak menyiapkan teknologi rekayasa hujan sesuai frekuensi dan tingkat yang dibutuhkan. Padahal negara-negara lain sudah menjadikan weather modification sebagai strategi standar,” ujarnya.
Ia menilai bahwa jika Indonesia terus bergantung pada imbauan dan retorika, biaya sosial akibat gagal panen, kebakaran hutan, dan krisis air bersih akan lebih mahal dibanding investasi teknologi mitigasi.
Dimensi Religius yang Terabaikan
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk religius, Siregar menilai bahwa Indonesia semestinya bisa memanfaatkan kearifan spiritual dalam merespons bencana iklim.
Dalam Islam, misalnya, terdapat fiqh bencana dengan salah satu klausulnya adalah shalat istisqa (shalat meminta hujan).
“Fiqh bencana bukan sekadar ritual. Ia adalah bentuk kesadaran kolektif untuk kembali pada Sang Pencipta sambil memperbaiki hubungan kita dengan alam. Sayangnya, dimensi spiritual ini tidak pernah diintegrasikan dengan kebijakan mitigasi bencana,” jelasnya.
Agama-agama lain, tambah Siregar, juga memiliki tradisi serupa yang dapat mendorong kesadaran lingkungan. Namun, selama ini ritual hanya bersifat seremonial, tanpa diikuti langkah teknis nyata seperti konservasi air, pengelolaan lahan, dan pemanfaatan teknologi.
Rekomendasi Integratif
Siregar menekankan bahwa solusi kekeringan harus menggabungkan teknologi, data ilmiah, dan kesadaran spiritual.
Beberapa rekomendasi kuncinya antara lain, pertama, teknologi Mitigasi: Operasi hujan buatan secara terencana di daerah rawan kekeringan.
Kedua, kebijakan Berbasis Data: Menggunakan data BMKG (HTH, curah hujan, hotspot karhutla) sebagai dasar langkah preventif.
Ketiga, mobilisasi Sosial dan Spiritual: Ritual keagamaan seperti istisqa dijadikan momentum kampanye nasional konservasi air.
Keempat, sinergi Pemerintah dan Komunitas: Pemerintah daerah, BPBD, dan tokoh agama bekerja sama dalam edukasi publik, pembangunan embung, dan penanaman pohon di kawasan rawan.
“Krisis iklim memerlukan keseriusan politik dan sosial. Kita tidak bisa hanya mengandalkan doa tanpa teknologi, atau teknologi tanpa kesadaran moral. Keduanya harus berjalan bersama,” tutup Siregar. (*)