TAJDID.ID~Medan || Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, mengatakan, langkah pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN yang menetapkan 184 bidang tanah sebagai “tanah telantar” dan siap diambil alih negara patut dicermati secara lebih kritis.
Dijelaskannya, meskipun regulasi—dalam hal ini PP No. 20 Tahun 2021—memungkinkan negara mengambil tanah HGU/HGB yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun, penerapan kebijakan ini membuka ruang persoalan besar ketika menyentuh tanah-tanah yang secara historis telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat adat atau petani lokal.
‘Di atas kertas, penertiban tanah telantar mungkin terdengar logis dan strategis. Lahan yang mangkrak tentu tidak memberikan kontribusi terhadap ekonomi nasional, terlebih di tengah keterbatasan lahan produktif dan melonjaknya kebutuhan pangan serta perumahan. Namun, kenyataan di lapangan sering kali lebih kompleks. Tidak semua tanah yang terlihat ‘kosong’ benar-benar telantar. Banyak di antaranya merupakan tanah eks-HGU yang telah kembali ke negara, lalu secara de facto dikelola oleh masyarakat lokal yang tidak memiliki akses pada legalitas formal,” ujar Farid, Rabu (23/7).
Celakanya, lanjut Farid, masyarakat yang telah puluhan tahun menggarap tanah tersebut kini berada dalam posisi rentan. Dalam sejumlah kasus, begitu tanah itu dikategorikan telantar, negara bisa langsung menyerahkannya kepada pengembang atau investor, atas nama optimalisasi lahan.
Dengan begitu, kata Farid, terjadilah tragedi, dimana rakyat yang telah memelihara dan menggantungkan hidup pada tanah warisan leluhur malah tergusur, sementara tanah itu diubah menjadi kawasan industri, permukiman elit, atau perkebunan besar. “Dalam diam, tanah warisan berubah status tanpa suara dari para ahli warisnya.
Inilah yang mengancam keadilan agraria di Indonesia,” tegasnya.
Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 ini mengatakan,
publik tidak sedang bicara soal tanah milik korporasi besar yang mangkrak, melainkan tanah yang secara historis dimiliki, digarap, dan diwariskan oleh masyarakat adat atau keluarga petani.
Ironisnya, kata Farid, negara menganggapnya telantar hanya karena tidak tercatat atau bersertifikat. Padahal, tidak sedikit dari para ahli waris ini yang tidak memiliki kemampuan administratif dan finansial untuk mengurus status hak atas tanah mereka.
Menurut Ketua Majelis Hukum dan HAM PW Muhammadiyah Sumut ini, negara semestinya menjadi pelindung, bukan justru menjadi pihak yang mengambil paksa atas nama legalitas semu.
“Pemerintah harus mengedepankan prinsip kehati-hatian dan keadilan substantif. Tanah yang memiliki riwayat penguasaan turun-temurun oleh masyarakat lokal harus diperlakukan berbeda. Pemeriksaan historis, konsultasi publik, dan verifikasi sosial mesti menjadi syarat mutlak sebelum menetapkan tanah sebagai objek penertiban,” tegasnya.
Sebaliknya, ia mengingatkan, rakyat pun tidak bisa terus bergantung pada ingatan sejarah semata. Perlu langkah aktif dan kolektif dari masyarakat untuk mengurus legalitas hak atas tanah mereka. “Pemerintah pusat dan daerah perlu memperluas akses terhadap program sertifikasi tanah, pendampingan hukum, serta penyuluhan hak agraria agar tidak terjadi ketimpangan informasi dan kekuasaan antara warga dan investor besar,” ujar Farid.
Farid menilai, publik percaya bahwa negara memiliki peran penting dalam mengatur dan mendistribusikan tanah secara adil. ‘Namun, keadilan agraria tidak boleh dimaknai sebatas administrasi. Tanah bukan sekadar objek hukum; ia adalah warisan, identitas, dan sumber kehidupan,” jelasnya
Karena itu, dalam menerapkan aturan soal tanah telantar, menurut Farid negara wajib memihak pada sejarah, kemanusiaan, dan akal sehat.
“Tanah leluhur bukan tanah kosong. Ia hidup dalam ingatan dan penghidupan rakyat. Jangan sampai demi investasi, rakyat justru kehilangan tanah airnya sendiri,” pungkasnya. (*)