Oleh: Dr Faisal SH MHum
Ketua Forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah (Fordek FH PTM) Se-Indonesia/Dekan FH UMSU
Apa jadinya hukum tanpa keadilan? Seperti tubuh tanpa jiwa, hukum akan menjadi rangkaian aturan yang dingin, kaku, bahkan menindas jika tak disinari oleh semangat keadilan. Di tengah riuhnya perdebatan hukum di ruang publik—dari ruang sidang hingga linimasa media sosial—pertanyaan mendasar ini kerap terabaikan: Apakah hukum yang ditegakkan masih mengandung jiwa keadilan?
Dalam tradisi filsafat, keadilan telah lama menjadi tema pokok. Plato memandang keadilan sebagai keteraturan jiwa, tempat setiap unsur menempati fungsinya. Aristoteles lebih konkret: keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Sedangkan Cicero menegaskan bahwa hukum yang tidak adil bukanlah hukum (lex iniusta non est lex).
Keadilan tidak cukup sebagai ide luhur. Ia harus hidup dalam kenyataan, menyentuh kehidupan konkret manusia
Sementara dalam pemikiran modern, John Rawls memperkenalkan gagasan “keadilan sebagai fairness“, yaitu keadilan yang lahir dari kesetaraan posisi awal dan prinsip yang disepakati secara rasional. Di sisi lain, Amartya Sen mengingatkan bahwa keadilan bukan sekadar ideal abstrak, tetapi harus dilihat dari bagaimana penderitaan, ketimpangan, dan ketidakadilan nyata dihapuskan. Artinya, keadilan tidak cukup sebagai ide luhur. Ia harus hidup dalam kenyataan, menyentuh kehidupan konkret manusia.
Keadilan dalam Realitas Sosial
Berpindah ke perspektif sosiologis, hukum tidak berdiri di menara gading. Ia tumbuh dan hidup dalam masyarakat—penuh kepentingan, ketimpangan, dan relasi kuasa. Sosiolog hukum seperti Eugen Ehrlich menekankan bahwa living law—hukum yang hidup dalam praktik sosial—seringkali berbeda dengan law in books. Di sinilah keadilan diuji: apakah hukum berpihak kepada yang lemah, atau hanya mengabdi pada kepentingan yang kuat?
Keadilan tidak datang dengan sendirinya. Ia harus diperjuangkan
Dalam masyarakat yang timpang, hukum yang netral bisa menjadi alat ketidakadilan. Pierre Bourdieu menyebut hukum sebagai bagian dari arena pertarungan simbolik, di mana siapa yang memiliki kuasa menentukan apa yang disebut “adil”. Di ruang ini, keadilan tidak datang dengan sendirinya. Ia harus diperjuangkan.
Secara ideal, hukum dibuat untuk mengatur hidup bersama agar tertib dan damai. Tapi ketika hukum kehilangan arah, atau digunakan sebagai alat kepentingan, keadilan bisa terkorbankan. Di titik ini, nurani masyarakat menjadi suara pembeda. Tidak sedikit putusan hukum yang legal, tetapi tidak legitimate di mata publik. Di sinilah kita melihat jurang antara keadilan normatif dan keadilan substantif.
Keadilan dalam Islam
Dalam ajaran Islam, keadilan (al-‘adl) bukan sekadar prinsip moral, tetapi merupakan fondasi dari seluruh sistem kehidupan—spiritual, sosial, politik, dan hukum. Islam menempatkan keadilan sebagai nilai luhur yang harus ditegakkan di atas segala bentuk kepentingan, bahkan terhadap diri sendiri, keluarga, atau kelompok sendiri.
Al-Qur’an secara eksplisit menegaskan perintah untuk berlaku adil. Salah satu ayat paling kuat berbunyi: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. An-Nahl: 90)
Keadilan dalam Islam tidak bergantung pada status sosial, etnis, atau agama. Dalam QS. Al-Ma’idah: 8 ditegaskan: “Dan janganlah kebencian terhadap suatu kaum membuat kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”
Artinya, keadilan adalah manifestasi dari takwa, dan mencerminkan kedekatan seseorang kepada nilai-nilai ilahiah.
Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad SAW menjadi teladan dalam menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Salah satu kisah terkenal adalah saat seorang wanita bangsawan dari Bani Makhzum mencuri, lalu sebagian sahabat mengusulkan agar hukum tidak ditegakkan karena status keluarganya. Nabi bersabda:
“Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Keadilan, dalam pandangan Nabi, adalah harga mati. Tidak boleh dikompromikan atas dasar nepotisme, kekuasaan, atau tekanan politik.
Islam tidak hanya menekankan keadilan individu atau hukum, tetapi juga keadilan sosial. Dalam sistem zakat, misalnya, harta didistribusikan dari yang kaya kepada yang miskin untuk menciptakan keseimbangan ekonomi. Islam mengecam penumpukan kekayaan yang tidak berdampak sosial, dan menyerukan pemerataan sebagai bentuk keadilan ekonomi.
Dalam politik Islam, keadilan adalah syarat sah kekuasaan. Khalifah Umar bin Khattab terkenal dengan komitmennya terhadap prinsip keadilan, bahkan rela dikritik rakyat. Ia berkata: “Tidak ada kebaikan dalam kalian jika kalian tidak menyampaikan kritik kepada kami, dan tidak ada kebaikan dalam kami jika tidak menerima nasihat dari kalian.”
Keadilan, dalam Islam, adalah cermin keabsahan seorang pemimpin. Pemimpin yang tidak adil tidak layak ditaati.
Keadilan dalam Islam bukan hanya untuk Muslim. Ia berlaku universal—melindungi hak semua manusia. Keadilan adalah jembatan antara nilai langit dan kehidupan bumi. Dalam Islam, hukum bukan hanya perangkat aturan, tapi jalan menuju keadilan hakiki.
Jika keadilan ditegakkan, maka rahmat Islam akan terasa nyata. Tapi jika ia diabaikan, maka hukum Islam tinggal nama, dan masyarakat Muslim hanya jadi bayang-bayang peradaban.
Menjaga Nyala Keadilan
Menghidupkan kembali keadilan sebagai jiwa hukum bukan tugas mudah. Ia menuntut keberanian dari para hakim, legislator, akademisi, hingga masyarakat sipil untuk tidak tunduk pada formalisme buta. Keadilan harus menjadi kompas etis di balik semua aturan.
Lebih dari sekadar pasal-pasal, keadilan adalah semangat untuk mengangkat suara yang terpinggirkan, membela yang lemah, dan menyeimbangkan kekuasaan.
Penutup
Kita sering mendengar sindiran bahwa hukum “tajam ke bawah, tumpul ke atas”. Tapi keadilan sejati tak mengenal arah. Ia tak tunduk pada hierarki sosial. Tugas kita bersama adalah menjaga agar hukum tak kehilangan jiwanya. Karena tanpa keadilan, hukum hanya akan menjadi bayang-bayang kekuasaan. (*)