TAJDID.ID~Medan || Meski belum mengkaji secara langsung putusan pengadilan dalam perkara yang melibatkan Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo, berbagai pemberitaan media telah cukup memberikan gambaran bahwa putusan terhadap dirinya akan memunculkan kontroversi di ruang publik.
Founder Ethics of Care, Farid Wajdi mengatakan, putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta pada 18 Juli 2025, yang menghukum Lembong dengan pidana penjara empat tahun enam bulan terkait kasus impor gula kristal mentah (GKM) tahun 2015, kembali memantik perdebatan mendalam tentang batas antara tindakan kebijakan publik dan yurisdiksi hukum pidana di Indonesia. Lembong dinyatakan bersalah karena menerbitkan izin impor tanpa memperoleh rekomendasi dari Kementerian Perindustrian serta tanpa melalui koordinasi antarkementerian. Kebijakan tersebut dinilai lebih menguntungkan pelaku usaha swasta dibandingkan badan usaha milik negara.
“Namun, persoalan yang muncul dari vonis ini tidak hanya berkaitan dengan prosedur administratif, melainkan juga menyentuh aspek etika dan landasan yuridis dalam proses penegakan hukum terhadap pejabat publik,” ujar Farid, Senin (21/7)..
Diketahui, dalam persidangan, majelis hakim secara terbuka menyatakan bahwa Lembong tidak terbukti memiliki niat jahat (mens rea), suatu unsur penting dalam tindak pidana korupsi. Tak ditemukan pula indikasi bahwa ia memperoleh keuntungan pribadi atas kebijakan yang ia ambil. Bahkan, selama proses hukum berlangsung, ia dinilai kooperatif, transparan, serta menunjukkan integritas sebagai pejabat yang memiliki rekam jejak bersih. “Dengan demikian, pemberian sanksi pidana terhadap pejabat yang melakukan kesalahan administratif tanpa itikad buruk dan tanpa niat memperkaya diri pribadi dapat menciptakan preseden yang membahayakan sistem hukum,” tegas Farid.
Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 ini menjelaskan,
dalam kerangka hukum pidana, terlebih berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tipikor, unsur kesengajaan atau intensi jahat merupakan elemen utama yang harus dibuktikan. Tidak cukup hanya membuktikan adanya pelanggaran hukum dan akibatnya; harus ada pula kesadaran pelaku untuk merugikan negara atau memperkaya diri sendiri.
Oleh sebab itu, kata Farid, jika pengadilan menyatakan bahwa tidak terdapat unsur tersebut, maka kelayakan vonis yang dijatuhkan patut dipertanyakan. “Hal ini pula yang menjadi sorotan di kalangan akademisi dan praktisi hukum, yang melihat adanya ketegangan antara pendekatan hukum yang kaku dan formalistis dengan prinsip keadilan yang lebih substansial,” ungkanya.
Farid melihat, konteks politik dalam kasus ini juga tak bisa diabaikan. Tom Lembong dikenal vokal mengkritik sejumlah kebijakan strategis pemerintah, seperti IKN, hilirisasi tambang, dan sentralisasi perizinan. Tom Lembong pun aktif dalam tim oposisi pada Pemilu 2024. Karena itu, sebagian pihak mencurigai proses hukumnya sarat muatan politik, atau setidaknya bernuansa pembungkaman terhadap oposisi.
Menurut Farid, dalam demokrasi, asas praduga tak bersalah dan independensi peradilan wajib dijaga. Namun, kritik atas putusan tetap sah, apalagi jika berdampak membatasi ruang birokrasi dalam merumuskan kebijakan. “Jika pejabat bisa dipidana atas kesalahan administratif tanpa niat jahat dan tanpa keuntungan pribadi, maka birokrasi akan menjadi pasif dan takut bertindak” kata Farid.
Lembong telah menyatakan niatnya untuk mengajukan upaya hukum lanjutan melalui proses banding maupun kasasi—langkah konstitusional yang sah dalam menguji kembali keadilan substansial dari putusan tersebut. Karenanya, menurut Farid publik pun berkepentingan untuk terus memantau apakah sistem hukum nasional mampu secara jelas membedakan antara kesalahan administratif dengan korupsi yang sesungguhnya.
Farid mengharapkan, majelis hakim dalam tingkat banding atau kasasi dapat menilai perkara ini dengan objektif, bebas dari tekanan politik, dan tetap berpegang pada prinsip independensi serta akuntabilitas peradilan. “Kedua prinsip ini harus berjalan beriringan: independensi menjaga hakim dari pengaruh luar, sementara akuntabilitas menjamin bahwa setiap putusan memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Farid mengatakan, pernyataannya bukan bentuk pembelaan terhadap individu tertentu, melainkan ajakan untuk menegakkan hukum yang adil, proporsional, dan tidak dijadikan alat untuk menekan kebijakan yang sah. “Jika hukum dijadikan instrumen politik, maka yang muncul bukanlah negara hukum, melainkan negara yang diliputi ketakutan, sebab para pembuat kebijakan enggan bertindak dan lebih memilih menghindari tanggung jawab,” pungkasnya. (*)