TAJDID.ID || Di sebuah desa sunyi di Phatthalung, Thailand Selatan, seorang anak laki-laki berusia delapan tahun naik ke atas ring beralas kanvas tipis. Tubuhnya kecil, langkahnya gugup, tapi tekadnya sudah sebesar gunung. Itulah awal kisah Rodtang Jitmuangnon, sang “Iron Man”, yang kini menjadi salah satu petarung paling ditakuti di planet ini.
Bukan, ini bukan kisah tentang bakat ajaib yang langsung melesat ke puncak. Ini adalah cerita tentang kerasnya hidup, tentang anak yang bertarung bukan untuk trofi, melainkan untuk makan.
Muay Thai bagi Rodtang bukan pilihan, tapi peluang hidup. Lahir pada tanggal 23 Juli 2027 dengan nama Tinnakorn Srisawat, Rodtang tumbuh dalam keluarga miskin, di mana bekerja keras adalah bahasa sehari-hari. Di usianya yang seharusnya bermain kelereng, ia sudah bertarung demi beberapa baht. Setiap kemenangan adalah sedikit nasi di piring keluarganya.
Menginjak usia remaja, enam tahun setelah menjalani debut Muay Thai, Rodtang merantau ke Bangkok untuk menjajal kompetisi yang lebih tinggi. Di ibu kota Thailand tersebut, ia berlatih di sasana ternama Jitmuangnon yang kini disematkan sebagai nama belakangnya.
Karier Rodtang terus berkembang hingga dilirik ONE Championship. Yang awalnya bocah miskin, kini namanya semakin dikenal dunia.
Namun, semakin tinggi karier seseorang, makin besar pula cobaannya, itulah yang dialami Rodtang ketika kehilangan salah satu pelatihnya Huan yang meninggal dunia karena serangan jantung pada 2018. Setahun berselang, sang ayah didiagnosis menderita kanker stadium 3.
Rodtang Jitmuangnon adalah salah satu petarung top di ONE Championship. Sebelum mencapai itu, Rodtang sudah melalui jalan berliku dan berat dalam hidupnya. Rodtang Jitmuangnon adalah salah satu petarung top di ONE Championship. Sebelum mencapai itu, Rodtang sudah melalui jalan berliku dan berat dalam hidupnya.
Pada 2020, Rodtang mengajak kedua orang tuanya untuk menyaksikan langsung duelnya dengan Jonathan Haggerty. Ini dilakukan demi memberi mereka secercah kebahagiaan serta gambaran tentang perjuangan yang ia jalani.
Sang ayah perlahan sembuh dan kini kondisinya telah membaik usai menjalani beberapa kali pengobatan. Pada Juni lalu, Rodtang berhasil memberikan rumah baru bagi orang tuanya.
“Dari seorang anak miskin, sekarang saya bisa membeli rumah untuk kedua orang tua, membeli rumah untuk diri sendiri serta memiliki uang untuk keluarga,” tulisnya dalam sebuah unggahan di media sosial.
“Saya ingin mengungkapkan rasa terima kasih pada Muay Thai. Tanpa Muay Thai, saya tak akan ada di posisi sekarang,”
“Keluarga melakukan segalanya untuk kami anak-anaknya. Mereka selalu pergi meninggalkan rumah di pagi hari dan pulang larut malam,” tutur Rodtang.
“Ayah saya sering bekerja jadi kuli proyek sampai menebang pohon karet. Sementara ibu sering jadi tukang cuci piring di acara pemakaman sampai jadi nelayan,” ujarnya.
Baja yang Ditempa Rasa Sakit
Rodtang tidak hanya dikenal karena gaya bertarung maju terus dan tak kenal takut. Ia dikenal karena daya tahan yang luar biasa. Dalam banyak pertarungan, ia membiarkan lawan memukulnya hanya untuk membalas dengan serangan yang lebih keras. Ia seperti tak punya rasa sakit — atau mungkin sudah terbiasa hidup bersamanya.
Komentator menyebutnya “The Terminator”, lawan-lawannya menyebutnya “monster”. Tapi Rodtang tetap menyebut dirinya hanya sebagai “anak kampung yang kerja keras”.
Dengan rekor ratusan pertarungan, gelar-gelar di Lumpinee, Omnoi, dan sabuk ONE Flyweight Muay Thai World Champion, Rodtang kini menjadi wajah global Muay Thai. Tapi ia tetap bertarung dengan semangat bocah delapan tahun yang dulu naik ke ring demi makan malam.

Di Balik Tubuh Baja Ada Hati yang Lembut
Apa yang membuat Rodtang berbeda? Di luar ring, ia sederhana, ramah, bahkan sedikit kocak. Ia sering menari di ring sebelum atau sesudah bertarung — bukan karena sombong, tapi karena senang. “Saya ingin orang tahu bahwa bertarung tidak harus menakutkan,” katanya.
Lahir dengan keyakinan seorang Buddhis, Rodtang dikenal sangat religius dan sangat dermawan.Nilai-nilai Buddhis begitu kuat dalam dirinya: rasa hormat, pengendalian diri, dan kebersahajaan.
Pada tahun 2023 Rodtang menikahi pujaan hatinya Aida Looksaikongdin seorang petarung perempuan Thailand yang beragama Islam. Pada saat itu Rodtang pun memutuskan jadi muallaf. Hebatnya, meskipun sudah berubah keyakinan, karakter Rodtang tidak ikut berubah.
Di media sosial, Rodtang adalah bintang. Ia sering membagikan momen lucu, latihan keras, atau kebersamaan dengan istrinya. Ia hidup sebagai selebriti, tapi tetap berjiwa rakyat.
Rodtang dan Masa Depan
Kini, Rodtang bukan hanya petarung. Ia adalah simbol harapan — bahwa anak dari desa kecil bisa menembus panggung dunia tanpa harus menjual jati dirinya. Bahwa olahraga bisa menjadi jalan mulia, bukan hanya panggung ego.
Meski namanya makin besar, Rodtang tetap Rodtang. Ia belum bicara soal pensiun, tapi ia tahu suatu saat nanti, tubuh pun butuh istirahat. “Selama saya masih bisa bertarung, saya akan terus bertarung. Tapi kalau berhenti nanti, saya ingin mengajar. Saya ingin anak-anak lain juga punya kesempatan seperti saya.”
Kesimpulan
Rodtang Jitmuangnon bukan sekadar petarung Muay Thai. Ia adalah perwujudan dari ketekunan, kesetiaan pada akar, dan keberanian untuk terus maju, bahkan saat hidup terus memukul. Di dunia yang penuh pencitraan dan kepalsuan, Rodtang adalah kisah nyata: keras, jujur, dan manusiawi.
Dan seperti ring tempat ia bertarung, hidup pun tak pernah memberinya kemewahan. Tapi Rodtang tahu satu hal: dengan keberanian dan hati yang tulus, bahkan dari tanah berlumpur pun bisa tumbuh legenda. (*)