Oleh: Nashrul Mu’minin
Content Writer Yogyakarta
Dunia menahan napas menyaksikan kembalinya Donald Trump ke panggung politik AS. Di tengah gejolak Perang Ukraina, ketegangan China-Taiwan, dan krisis iklim yang kian akut, Trump bukan sekadar figur politik—ia adalah simbol ketakutan kolektif akan dunia yang berubah terlalu cepat. Data Pew Research (2024) menunjukkan 62% warga AS merasa “negara bergerak ke arah yang salah”, sementara survei The Economist menemukan 48% pemilih Republik menganggap Trump sebagai “penyelamat nilai-nilai lama”. Tapi apa sebenarnya yang dipertaruhkan di balik nostalgia “Make America Great Again”?
Trump bukan fenomena baru, melainkan produk dari krisis kapitalisme lanjut. Laporan Oxfam (2025) mengungkap 1% orang terkaya AS menguasai 42% kekayaan nasional—ketimpangan yang menjadi bahan bakar retorika populismenya. Ironisnya, kebijakan pajaknya justru memperlebar jurang ini. The Tax Policy Center mencatat, pemotongan pajak era Trump 2017 menguntungkan 20% kelompok atas dengan rata-rata USD 5.420/tahun, sementara 20% terbawah hanya mendapat USD 40. Di tengah inflasi 6.3% (BLS, Juni 2025), janji “proteksionisme ekonomi” Trump adalah ilusi yang berbahaya.
Di tingkat global, kembalinya Trump bisa menjadi bencana diplomasi. Analisis Council on Foreign Relations memprediksi kemungkinan AS menarik diri dari NATO naik hingga 70% jika Trump menang—langkah yang akan membuka jalan bagi ekspansionisme Rusia. Sementara itu, ancaman tarif impor 60% untuk produk China (pernyataan Trump, Januari 2025) berpotensi memicu perang dagang senilai USD 1,3 triliun (estimasi Bloomberg). Dunia yang sedang krisis tidak butuh tambahan ketidakstabilan.
Yang paling mengkhawatirkan adalah warisan Trump bagi demokrasi. Proyek Authoritarian Warning System Universitas George Washington mencatat peningkatan 240% serangan terhadap institusi demokrasi di negara-negara dengan pemimpin bercorak populisme antara 2020-2024. Di Brasil, Bolsonaro jatuh dengan meninggalkan kerusuhan; di Israel, Netanyahu memicu krisis konstitusional. Trump dengan pengadilan kriminalnya dan retorika “pencurian pemilu” berpotensi mengulang skenario serupa.
Kita sedang bermain dengan api. Trump mungkin hanya gejala, tapi penyakitnya adalah kegagalan sistemik menjawab ketakutan warga atas globalisasi, automasi, dan ketidakpastian masa depan. Solusinya bukan kembali ke masa lalu, melainkan membangun tatanan baru yang inklusif—sebelum fantasi kekuasaan segelintir orang menghancurkan apa yang tersisa dari demokrasi. Hari ini, 17 Juli 2025, pilihan ada di tangan kita: mengubur nostalgia beracun, atau membiarkannya meracuni masa depan. (*)