Oleh: Nashrul Mu’minin
Content Writer Yogakarta
Pukul 06.15, matahari belum sepenuhnya bangun ketika kami—sekumpulan mahasiswa dan pekerja yang jenuh dengan rutinitas—memulai pendakian Gunung Andong via Pendem. Kabut pagi masih menyelimuti jalan setapak, seolah menyembunyikan rahasia-rahasia alam yang hanya akan dibuka untuk mereka yang bersedia berkeringat. Tas carrier berisi logistik sederhana terasa ringan di awal, tapi semakin berat seiring tanjakan yang menganjak. Setiap langkah adalah negosiasi antara kaki yang pegal dan hati yang ingin terus melangkah. Di sela-sela terengah-engah, kami tertawa melihat wajah masing-masing yang memerah, sambil mengutuk janji manis teman yang bilang “Andong itu gunung buat pemula”.
Puncak 1726 mdpl itu seperti mimpi yang direngkuh dengan tangan berlumpur. Jam 14.43, kami berdiri di atas hamparan bebatuan vulkanik, memandang Magelang dari ketinggian yang membuat segala masalah perkuliahan dan deadline kerja tiba-tiba terasa kecil. Sawah-sawah terhampar seperti puzzle hijau, dihiasi siluet Merapi dan Merbabu di kejauhan yang seolah menyapa dengan sombongnya. Ada keheningan yang berbicara di sini—angin yang membisikkan tentang betapa sementaranya manusia, dan betapa megahnya alam yang tetap berdiri jauh sebelum kita lahir dan akan tetap ada ketika kita tiada. Kami duduk melingkar, berbagi roti lapuk dan cerita-cerita konyol yang tiba-tiba terasa berarti.
Turun adalah pelajaran tentang kerendahan hati. Jalur yang licin oleh tanah lembap menguji kesombongan kami yang tadi merasa telah “menaklukkan” gunung. Lebih dari sekali kami terpeleset, memegang akar-akar pohon seperti memegang tangan teman yang tak terlihat. Di basecamp, sebelum pulang, kami mandi di sungai kecil yang airnya begitu dingin tapi menyegarkan jiwa. Rasanya seperti dibaptis ulang oleh alam, dilahirkan kembali sebagai versi diri yang lebih lapang.
Hari itu, Gunung Andong mengajari kami bahwa liburan sesungguhnya bukanlah tentang melarikan diri dari kenyataan, tapi tentang menemukan diri yang sebenarnya di antara gemericik sungai, desau daun, dan senyum teman-teman yang sama lelahnya. Kami pulang dengan kaki pegal tapi hati ringan, membawa pulang cerita-cerita yang tak akan bisa dibeli oleh uang saku kampus atau gaji bulanan. Dan mungkin, justru di situlah letak kemewahannya. (*)