Oleh: Dr Faisal SH MHum
Ketua Forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se-Indonesia/Dekan FH UMSU
Gagasan Hukum Profetik menjadi sangat layak dan menarik untuk diwacanakan di tengah potret “kejahiliyahan” penegakan hukum di negeri ini.
Di mata banyak rakyat Indonesia, sekarang ini hukum bukan lagi simbol keadilan, melainkan sekadar alat kekuasaan. Dunia hukum kita, yang seharusnya menjadi pelindung bagi yang lemah, justru sering kali menjadi panggung drama yang menyakitkan: di mana si kaya bisa tertawa, dan si miskin hanya bisa pasrah.
“Tajam ke bawah, tumpul ke atas” bukan lagi sekadar ungkapan kosong, tapi itu memang fakta yang terasa begitu nyata dan sulit untuk dibantah. Kita menyaksikan bagaimana koruptor kakap bisa melenggang keluar dari jeruji dengan berbagai “keringanan”, sementara pencuri ayam atau sandal bisa dihukum bertahun-tahun penjara. Bukankah ini cermin betapa timpangnya penegakan hukum di negeri ini?
Lembaga penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan, masih sering jadi sorotan karena integritasnya yang dipertanyakan. Praktik suap, mafia peradilan, hingga kriminalisasi terhadap aktivis dan masyarakat kecil menunjukkan bahwa hukum belum sepenuhnya berpihak pada kebenaran. Betapa hukum kerap menjadi alat penindasan, bukan lagi pelindung.
Ya. Adalah fakta yang terbantahkan, bahwa Indonesia saat ini tengah terperangkap dalam pusaran krisis penegakan hukum yang cukup parah dan mengkhawatirkan.
Dalam situasi pelik ini, Indonesia membutuhkan sebuah paradigma baru dalam hukum—yang tak hanya berbicara tentang norma atau pasal, tetapi juga hikmah, keadilan, dan kemanusiaan. Di sinilah Hukum Profetik (Prophetic Law) hadir sebagai tawaran alternatif yang relevan. Dan tentunya, gagasan Hukum Profetik ini menjadi sangat layak dan menarik untuk diwacanakan di tengah potret “kejahiliyahan” penegakan hukum di negeri ini.
Bukan Sekadar Pasal, Tapi Spirit Keadilan
Istilah Hukum Profetik berasal dari gagasan Prof. Kuntowijoyo, seorang cendekiawan Muslim dan sosiolog Indonesia yang menggagas Ilmu Sosial Profetik. Konsep yang ia tuangkan dalam buku “Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi” (1991) ini menekankan pentingnya nilai-nilai kenabian sebagai dasar dalam kehidupan sosial, termasuk hukum.
Ada tiga nilai utama yang menjadi pilar Hukum Profetik:
Pertama, Humanisasi (Memanusiakan Manusia). Hukum wajib menjaga martabat manusia, memperlakukan semua orang secara adil tanpa memandang status sosial. Hukum juga tidak boleh menjadi alat kekuasaan atau alat untuk merendahkan manusia.
Kedua, Liberasi (Pembebasan). Hukum berfungsi sebagai alat untuk membebaskan manusia dari penindasan, kemiskinan, diskriminasi, dan ketidakadilan struktural. Hukum harus pro-rakyat kecil dan kaum tertindas.
Ketiga, Transendensi (Berorientasi Ketuhanan). Hukum tidak hanya mengatur hubungan antar-manusia, tetapi juga mengandung kesadaran spiritual, yakni menghubungkan manusia dengan nilai-nilai Ilahiah. Hukum tak hanya mengejar kepentingan duniawi, tapi juga bermuara pada kebaikan yang universal.
Dengan tiga pilar ini, Hukum Profetik hadir bukan sekadar menegakkan aturan, tetapi menegakkan keadilan yang bermoral, berempati, dan membawa pembebasan.
Mengapa Hukum Profetik Mendesak di Indonesia Saat Ini?
Setidaknya ada beberapa argumentasi mengapa Hukum profetik dianggap penting untuk digagas dan diamalkan dalam konstelasi dunia hukum Indonesia.
1. Menghadirkan Keadilan Substantif, Bukan Sekadar Keadilan Prosedural
Banyak kasus hukum di Indonesia berhenti di tingkat prosedural. Selama memenuhi formalitas hukum, seolah-olah sudah adil. Padahal, masyarakat tetap merasakan ketidakadilan. Dalam konteks ini, Hukum Profetik menekankan keadilan substantif yang lebih berpihak pada esensi keadilan, bukan sekadar kelengkapan prosedur.
2. Mengikis Mafia Hukum
Praktik mafia hukum tumbuh subur karena aparat hanya fokus pada hukum sebagai alat transaksi. Dengan paradigma profetik, hukum bukan lagi alat untuk mencari keuntungan, tetapi sarana untuk mengabdi pada kebenaran dan keadilan.
3. Menjawab Kebutuhan Hukum yang Kontekstual dan Spiritual
Indonesia adalah bangsa yang religius, dengan mayoritas masyarakat yang menginginkan hukum selaras dengan nilai-nilai agama dan moral. Karena itu, Hukum Profetik sangat relevan untuk menjadi jembatan antara hukum formal dan aspirasi moral masyarakat.
4. Menguatkan Gerakan Anti-Ketidakadilan
Hukum Profetik mendorong perlawanan sistemik terhadap segala bentuk penindasan, baik oleh negara maupun korporasi, serta memberikan ruang kepada rakyat untuk ikut mengawasi penegakan hukum.
Bagaimana Mewujudkan Hukum Profetik?
Penerapan Hukum Profetik tidak berarti mengganti seluruh sistem hukum yang ada. Namun, hukum ini bisa diinternalisasi melalui:
Pertama, Reformasi Pendidikan Hukum. Calon-calon penegak hukum harus dibekali bukan hanya teori hukum positif, tapi juga nilai profetik yang menekankan moralitas, keadilan sosial, dan kesadaran spiritual.
Kedia, Reorientasi Sistem Hukum. Penguatan hukum progresif yang berpihak kepada rakyat kecil harus didorong. Pasal-pasal hukum harus diinterpretasikan secara humanis, bukan sekadar tekstual.
Ketiga, Gerakan Keadilan Sosial Berbasis Masyarakat. Masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam kontrol sosial, sehingga hukum menjadi ruang kolektif untuk menegakkan kebenaran.
Keempat, Membangun Integritas Aparat Hukum. Lembaga penegak hukum harus berani menerapkan sistem ketat untuk menjamin integritas, dengan pengawasan yang transparan dan berbasis etika profetik.
Penutup
Sesungguhnya, Indonesia tidak kekurangan peraturan hukum, tetapi kekurangan penegakan hukum yang adil, bermoral, dan membebaskan.
Hukum di Indonesia saat ini juga kesannya terlalu legalistik, seolah hukum cukup ditegakkan lewat pasal-pasal tanpa mempertimbangkan hikmah di baliknya.
Karena itu, Inilah saatnya Indonesia membuka ruang bagi paradigma hukum baru yang lebih adil, empatik, dan transenden.
Di sinilah pentingnya Hukum Profetik sebagai arah baru yang menawarkan jalan tengah antara legalisme yang kaku dan moralitas yang transenden.
Hukum Profetik bukan sekadar gagasan utopis, tapi sebuah ikhtiar transformatif untuk menegakkan keadilan sejati yang memanusiakan, membebaskan, sekaligus mengingatkan manusia pada nilai-nilai ketuhanan.
Hukum bukan sekadar mengadili, tapi juga menuntun. Inilah esensi Hukum Profetik. (*)