Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PW Muhammadiyah Sumatera Utara
Di tepi Pantai Cermin, Serdang Bedagai, seorang nelayan bernama Pak Dul membuka gawai bututnya. Ia menatap grafik stok ikan di aplikasi FisherData—kurva merah yang terus menukik. Ironi besar: ia berdiri di atas wilayah dengan potensi perikanan 1,24 juta ton, tetapi hasil tangkapannya merosot 40% dalam lima tahun terakhir. Kisah Pak Dul adalah potret buram pengelolaan laut kita. Padahal, data Kementerian Kelautan 2025 menunjukkan, Sumatera Utara menyimpan 18% potensi perikanan barat Indonesia, setara Rp 28 triliun per tahun.
Dua Wajah Negeri Bahari
Garis pantai Sumut sepanjang 1.901 km adalah anugerah sekaligus ujian. Di Belawan, klaster udang windu syariah berbasis biosekuriti level-3 membanggakan.
Produktivitasnya mencapai 24 ton per hektar, tiga kali lipat rata-rata nasional. Ekspornya merambah pasar Eropa dengan sertifikasi SGEC-ASC.
Namun, dua jam berkendara ke timur, di pesisir Langkat, 42% mangrove rusak parah. BRIN mencatat, setiap hektar kerusakan mangrove menghilangkan 1.200 ton benih udang windu per tahun.
Kontras ini terjadi karena fragmentasi kebijakan. Sebanyak 22 instansi mengurusi laut tanpa koordinasi memadai. Hasilnya? 18.000 hektar kawasan budidaya bertabrakan dengan izin tambang. Nelayan seperti Pak Dul terjepit antara aturan dan kebutuhan perut.
Jaring Penyelamat Ekonomi Biru
Lokakarya PW Muhammadiyah 26 Juli 2025 melahirkan terobosan: Model Pemberdayaan 3C (Connectivity-Community-Conservation). Intinya, membangun sinergi masjid, kampus, dan pelabuhan.
Pertama, masjid menjadi pusat transformasi. Melalui khutbah Jumat dan baitul mal, kami galang dana zakat untuk pembiayaan kapal nelayan skema syirkah mudharabah. Target 2026: 50 kapal berbasis teknologi ramah lingkungan.
Kedua, kampus melahirkan inovasi. Universitas Muhammadiyah Sumut sedang mengembangkan KJA (Keramba Jaring Apung) syariah biaya rendah. Desainnya memadukan prinsip ekoteologi Islam dengan material lokal. Prototipenya mampu menekan biaya produksi 40% dibanding produk impor.
Ketiga, pelabuhan sebagai jantung ekonomi. Rencana transformasi Pelabuhan Belawan menjadi fish hub internasional sudah pada papan desain. Kawasan ini akan menyatukan cold chain terintegrasi, pusat sertifikasi halal eco-fish, dan kawasan pengolahan tuna premium.
Angka yang Harus Diubah
Bappenas mencatat ironi besar: kontribusi sektor kelautan Sumut terhadap PDRB hanya 8,1%, padahal potensinya mampu menyodok hingga 18,3%. Dengan model pemberdayaan terpadu, kami memproyeksikan lompatan signifikan:
Titik Balik Peradaban Bahari
Kearifan lokal pantai timur Sumut mengenal falsafah: “Laut bukan warisan nenek moyang, tapi titipan anak cucu.” Prinsip ini sejalan dengan maqashid syariah dalam perlindungan sumber daya alam.
Melalui Sekolah Laut Muhammadiyah di Pantai Cermin, kami melatih generasi baru nelayan. Kurikulumnya memadukan teknologi akuakultur, fiqh muamalah kelautan, dan kewirausahaan syariah. Kelas pertama sudah dimulai Juli 2025 dengan 150 santri. Mereka akan menjadi pionir nelayan berijazah—mengubah paradigma hunter menjadi cultivator.
Penutup: Laut sebagai Ibadah Produktif
Ketika Nabi Musa AS menerima wahyu di Bukit Thur Sina, Allah SWT berfirman: “…Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat juga seperti kamu…” (QS Al-An’am: 38). Ayat ini mengingatkan: laut beserta isinya adalah komunitas ilahiah yang wajib kita kelola dengan adab.
Membangkitkan kejayaan bahari Sumut bukan sekadar proyek ekonomi. Ini adalah ibadah kolektif. Dengan ilmu, iman, dan teknologi, kita wujudkan laut sebagai sumber berkah berkelanjutan—bukan kuburan ekologi yang kita wariskan ke anak cucu.
“Tuhan telah menghamparkan laut sebagai jalan setapak, agar kapal-kapal berlayar atas perintah-Nya.”
(QS Al-Jatsiyah: 12). (*)