• Setup menu at Appearance » Menus and assign menu to Top Bar Navigation
Selasa, Juli 15, 2025
TAJDID.ID
  • Liputan
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
      • Pemko Binjai
    • Pemilu
      • Pilkada
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Sains
  • Gagasan
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Gerakan
    • Muhammadiyah
      • PTM/A
      • AUM
      • LazisMu
      • MDMC
      • MCCC
    • ‘Aisyiyah
    • Ortom
      • IPM
      • IMM
      • Pemuda Muhammadiyah
        • KOKAM
      • Nasyiatul ‘Aisyiyah
      • Hizbul Wathan
      • Tapak Suci
    • Muktamar 49
  • Kajian
    • Keislaman
    • Kebangsaan
    • Kemuhammadiyahan
  • Jambangan
    • Puisi
    • Cerpen
  • Tulisan
    • Pedoman
    • Tilikan
    • Ulasan
    • Percikan
    • MahasiswaMu Menulis
  • Syahdan
  • Ringan
    • Nukilan
    • Kiat
    • Celotehan
  • Jepretan
    • Foto
No Result
View All Result
  • Liputan
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
      • Pemko Binjai
    • Pemilu
      • Pilkada
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Sains
  • Gagasan
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Gerakan
    • Muhammadiyah
      • PTM/A
      • AUM
      • LazisMu
      • MDMC
      • MCCC
    • ‘Aisyiyah
    • Ortom
      • IPM
      • IMM
      • Pemuda Muhammadiyah
        • KOKAM
      • Nasyiatul ‘Aisyiyah
      • Hizbul Wathan
      • Tapak Suci
    • Muktamar 49
  • Kajian
    • Keislaman
    • Kebangsaan
    • Kemuhammadiyahan
  • Jambangan
    • Puisi
    • Cerpen
  • Tulisan
    • Pedoman
    • Tilikan
    • Ulasan
    • Percikan
    • MahasiswaMu Menulis
  • Syahdan
  • Ringan
    • Nukilan
    • Kiat
    • Celotehan
  • Jepretan
    • Foto
No Result
View All Result
tajdid.id
No Result
View All Result

Shohibul Anshor Siregar: Menggali Narasi Simalungun yang Terkubur oleh Debu Kolonial

M. Risfan Sihaloho by M. Risfan Sihaloho
2025/07/13
in Daerah
0
Shohibul Anshor Siregar: Menggali Narasi Simalungun yang Terkubur oleh Debu Kolonial
Bagikan di FacebookBagikan di TwitterBagikan di Whatsapp

“Perlawanan tak selalu harus berteriak. Kadang ia bersenandung dalam ritual, berbisik dalam kabut, dan menulis sejarah di balik bayang-bayang.” ~ Shohibul Anshor Siregar

TAJDID.ID || Dalam sebuah diskusi mendalam bersama Shohibul Anshor Siregar terungkap narasi alternatif mengenai perlawanan masyarakat Simalungun terhadap kolonialisme Belanda—sebuah sejarah yang selama ini tertimbun oleh dominasi arsip kolonial dan narasi resmi negara.

Menurut Siregar, sejarah perlawanan di Tanah Simalungun bukan hanya terletak pada senjata dan konfrontasi langsung, melainkan terpatri dalam ritual, simbol, dan strategi kebudayaan yang halus namun mendalam.

“Apa yang oleh kolonial disebut keterpencilan, oleh masyarakat Simalungun justru dimaknai sebagai kedaulatan teritorial dan spiritual. Mereka tidak hanya mempertahankan tanah, tapi juga kehormatan dan roh leluhur,” tegas Siregar.

Menggugat Mitos “Tanah Terisolasi”

Siregar menyoroti bagaimana mitos kolonial tentang Simalungun sebagai “wildernis zonder handelswegen” (hutan tanpa jalur dagang) dibangun secara sistematis untuk melegitimasi ekspansi dan dominasi Belanda. Padahal, jalur kuno dalan ni opuk telah menghubungkan wilayah ini dengan pusat perdagangan seperti Barus sejak abad ke-13.

“Ini bukan tanah kosong. Ini tanah dengan sejarah perdagangan global. Bahkan kemenyan dari sini sampai ke Mesir, sebagaimana dicatat Ibnu Battuta,” ujarnya.

Kereta, Kerja Paksa, dan Strategi Diam

Pembangunan rel kereta Medan–Pematang Siantar tahun 1910 sering dipuji sebagai pencapaian teknologi kolonial. Namun Siregar mengungkap realitas kelam di baliknya: kerja paksa herendiensten, tekanan senjata, dan penderitaan perempuan yang memanggul batu sambil menggendong anak.

Namun, masyarakat tak tinggal diam. Strategi marsabun—perlawanan sunyi dengan mogok kerja dan sabotase halus—menjadi taktik utama. Konsep ini senada dengan teori perlawanan diam-diam yang diungkap antropolog James Scott.

“Kolonial lupa bahwa diam bisa mematikan. Dalam diam itulah, perlawanan tumbuh seperti akar yang menyusup ke pondasi kekuasaan,” ucap Sirwgar.

Agama: Ruang Tawar, Bukan Penaklukan

Siregar mengkritisi klaim keberhasilan misi Kristen di Simalungun. Menurutnya, konversi massal hanyalah taktik bertahan masyarakat. Di balik dinding gereja, ritual adat seperti mangongkal holi tetap dilestarikan.

“Air baptis itu diterima sebagai perlindungan, bukan karena keimanan teologis. Gereja dijadikan tameng untuk menyembunyikan roh nenek moyang,” katanya.

Pasar Arwah: Ekonomi Bayangan Sebagai Resistensi

Ketika pajak kolonial menghimpit ekonomi rakyat, muncul onan ni begu—pasar rahasia di bawah hutan larangan yang beroperasi lewat kode-kode budaya. Siregar menyebutnya sebagai bentuk friksi kreatif, di mana masyarakat memelintir sistem kolonial untuk bertahan hidup.

“Tak ada mata uang di sana. Hanya sirih dan isyarat. Tapi itu cukup untuk membuat kolonial buta arah,” tutur Siregar sambil tertawa ringan.

Ekologi Sebagai Alat Perlawanan

Penanaman pohon ingul di batas tanah adat disebut Siregar sebagai “ekologi strategis.” Pohon ini bukan hanya penghalang fisik, tetapi simbol peringatan spiritual. Dalam cerita rakyat, ingul bahkan dipercaya berubah menjadi harimau penjaga hutan.

“Ingul itu bukan pohon biasa. Ia adalah penjaga hukum adat yang membisu namun tak terkalahkan,” ujar Shohibul dengan nada khidmat.

Arsip yang Masih Bernafas

Di penghujung percakapan, Siregar mengajak kita membaca ulang arsip kolonial bukan sebagai catatan mati, tetapi sebagai medan kontestasi. Tanda-tanda seperti cap jari, goresan simbol, hingga bubuk kemenyan dalam dokumen menunjukkan adanya jejak protes dari para juru tulis lokal.

“Generasi baru Simalungun hari ini bukan sekadar pembaca arsip, mereka adalah penafsir dan pewaris. Kolonial mungkin menulis sejarah, tapi kitalah yang memaknainya,” tutup Siregar .

Catatan Penutup: Menyuarakan yang Terkubur

Diskusi ini menegaskan pentingnya meninjau ulang historiografi Indonesia, terutama narasi tentang perlawanan lokal. Bagi Sirwgar, membongkar kebohongan kolonial bukan sekadar kerja sejarah, melainkan kerja kemanusiaan.

“Hanya yang tuli pada sungai menyebut kita primitif,” ujar Siregar mengutip surat batak tahun 1911.

Di tengah gempuran teknologi, modernitas, dan dominasi narasi global, kisah-kisah Simalungun mengingatkan kita bahwa tanah, roh, dan cerita rakyat tetap menjadi kompas arah bangsa. (*)

 

✒️ Tim Redaksi

Tags: KolonialismeSejarah Simalungunshohibul anshor siregarSimalungun
Previous Post

Ethics of Care Soroti Tragedi Revitalisasi Medan: Anggaran Melayang, Publik Terlantar

Next Post

Dari Sampah jadi Solusi: Pemuda Lintas Iman Banyuwangi Bikin Sabun dan Ventilasi Roster dari Plastik Bekas

Related Posts

Laut Kita, Mutiara yang Terkikis: Refleksi atas Potensi Kelautan Indonesia

Laut Kita, Mutiara yang Terkikis: Refleksi atas Potensi Kelautan Indonesia

13 Juli 2025
108
Dosen FISIP UMSU Kritik Putusan MK Soal Pemilu Nasional-Lokal: Menghindar dari Substansi, Abaikan Integritas Demokrasi

Dosen FISIP UMSU Kritik Putusan MK Soal Pemilu Nasional-Lokal: Menghindar dari Substansi, Abaikan Integritas Demokrasi

8 Juli 2025
122
Rusaknya “Dalihan Na Tolu” dalam Korupsi Jalan di Sumut

Rusaknya “Dalihan Na Tolu” dalam Korupsi Jalan di Sumut

28 Juni 2025
193
Penyiksaan oleh Aparat TNI-Polri di Sumut Ancam Demokrasi dan Hak Asasi Warga

Penyiksaan oleh Aparat TNI-Polri di Sumut Ancam Demokrasi dan Hak Asasi Warga

27 Juni 2025
131
Burkina Faso di Bawah Ibrahim Traoré: Cermin Warisan Kolonialisme dan Peringatan Krusial bagi Indonesia

Burkina Faso di Bawah Ibrahim Traoré: Cermin Warisan Kolonialisme dan Peringatan Krusial bagi Indonesia

25 Juni 2025
144
Masukan untuk Presiden: Keempat Pulau itu Milik Aceh

Masukan untuk Presiden: Keempat Pulau itu Milik Aceh

15 Juni 2025
153
Next Post
Dari Sampah jadi Solusi: Pemuda Lintas Iman Banyuwangi Bikin Sabun dan Ventilasi Roster dari Plastik Bekas

Dari Sampah jadi Solusi: Pemuda Lintas Iman Banyuwangi Bikin Sabun dan Ventilasi Roster dari Plastik Bekas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

TERDEPAN

  • Tiga Puisi Tentang Nabi Muhammad SAW Karya Taufiq Ismail

    Tiga Puisi Tentang Nabi Muhammad SAW Karya Taufiq Ismail

    50 shares
    Share 20 Tweet 13
  • Said Didu Ingin Belajar kepada Risma Bagaimana Cara Melapor ke Polisi Biar Cepat Ditindaklanjuti

    42 shares
    Share 17 Tweet 11
  • Din Syamsuddin: Kita Sedang Berhadapan dengan Kemungkaran yang Terorganisir

    39 shares
    Share 16 Tweet 10
  • Putuskan Sendiri Pembatalan Haji 2020, DPR Sebut Menag Tidak Tahu Undang-undang

    36 shares
    Share 14 Tweet 9
  • Kisah Dokter Ali Mohamed Zaki, Dipecat Usai Temukan Virus Corona

    36 shares
    Share 14 Tweet 9

© 2019 TAJDID.ID ~ Media Pembaruan & Pencerahan

Anjungan

  • Profil
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kirim Tulisan
  • Pasang Iklan

Follow Us

No Result
View All Result
  • Liputan
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
      • Pemko Binjai
    • Pemilu
      • Pilkada
    • Teknologi
    • Olah Raga
    • Sains
  • Gagasan
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Gerakan
    • Muhammadiyah
      • PTM/A
      • AUM
      • LazisMu
      • MDMC
      • MCCC
    • ‘Aisyiyah
    • Ortom
      • IPM
      • IMM
      • Pemuda Muhammadiyah
      • Nasyiatul ‘Aisyiyah
      • Hizbul Wathan
      • Tapak Suci
    • Muktamar 49
  • Kajian
    • Keislaman
    • Kebangsaan
    • Kemuhammadiyahan
  • Jambangan
    • Puisi
    • Cerpen
  • Tulisan
    • Pedoman
    • Tilikan
    • Ulasan
    • Percikan
    • MahasiswaMu Menulis
  • Syahdan
  • Ringan
    • Nukilan
    • Kiat
    • Celotehan
  • Jepretan
    • Foto

© 2019 TAJDID.ID ~ Media Pembaruan & Pencerahan

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In