“Perlawanan tak selalu harus berteriak. Kadang ia bersenandung dalam ritual, berbisik dalam kabut, dan menulis sejarah di balik bayang-bayang.” ~ Shohibul Anshor Siregar
TAJDID.ID || Dalam sebuah diskusi mendalam bersama Shohibul Anshor Siregar terungkap narasi alternatif mengenai perlawanan masyarakat Simalungun terhadap kolonialisme Belanda—sebuah sejarah yang selama ini tertimbun oleh dominasi arsip kolonial dan narasi resmi negara.
Menurut Siregar, sejarah perlawanan di Tanah Simalungun bukan hanya terletak pada senjata dan konfrontasi langsung, melainkan terpatri dalam ritual, simbol, dan strategi kebudayaan yang halus namun mendalam.
“Apa yang oleh kolonial disebut keterpencilan, oleh masyarakat Simalungun justru dimaknai sebagai kedaulatan teritorial dan spiritual. Mereka tidak hanya mempertahankan tanah, tapi juga kehormatan dan roh leluhur,” tegas Siregar.
Menggugat Mitos “Tanah Terisolasi”
Siregar menyoroti bagaimana mitos kolonial tentang Simalungun sebagai “wildernis zonder handelswegen” (hutan tanpa jalur dagang) dibangun secara sistematis untuk melegitimasi ekspansi dan dominasi Belanda. Padahal, jalur kuno dalan ni opuk telah menghubungkan wilayah ini dengan pusat perdagangan seperti Barus sejak abad ke-13.
“Ini bukan tanah kosong. Ini tanah dengan sejarah perdagangan global. Bahkan kemenyan dari sini sampai ke Mesir, sebagaimana dicatat Ibnu Battuta,” ujarnya.
Kereta, Kerja Paksa, dan Strategi Diam
Pembangunan rel kereta Medan–Pematang Siantar tahun 1910 sering dipuji sebagai pencapaian teknologi kolonial. Namun Siregar mengungkap realitas kelam di baliknya: kerja paksa herendiensten, tekanan senjata, dan penderitaan perempuan yang memanggul batu sambil menggendong anak.
Namun, masyarakat tak tinggal diam. Strategi marsabun—perlawanan sunyi dengan mogok kerja dan sabotase halus—menjadi taktik utama. Konsep ini senada dengan teori perlawanan diam-diam yang diungkap antropolog James Scott.
“Kolonial lupa bahwa diam bisa mematikan. Dalam diam itulah, perlawanan tumbuh seperti akar yang menyusup ke pondasi kekuasaan,” ucap Sirwgar.
Agama: Ruang Tawar, Bukan Penaklukan
Siregar mengkritisi klaim keberhasilan misi Kristen di Simalungun. Menurutnya, konversi massal hanyalah taktik bertahan masyarakat. Di balik dinding gereja, ritual adat seperti mangongkal holi tetap dilestarikan.
“Air baptis itu diterima sebagai perlindungan, bukan karena keimanan teologis. Gereja dijadikan tameng untuk menyembunyikan roh nenek moyang,” katanya.
Pasar Arwah: Ekonomi Bayangan Sebagai Resistensi
Ketika pajak kolonial menghimpit ekonomi rakyat, muncul onan ni begu—pasar rahasia di bawah hutan larangan yang beroperasi lewat kode-kode budaya. Siregar menyebutnya sebagai bentuk friksi kreatif, di mana masyarakat memelintir sistem kolonial untuk bertahan hidup.
“Tak ada mata uang di sana. Hanya sirih dan isyarat. Tapi itu cukup untuk membuat kolonial buta arah,” tutur Siregar sambil tertawa ringan.
Ekologi Sebagai Alat Perlawanan
Penanaman pohon ingul di batas tanah adat disebut Siregar sebagai “ekologi strategis.” Pohon ini bukan hanya penghalang fisik, tetapi simbol peringatan spiritual. Dalam cerita rakyat, ingul bahkan dipercaya berubah menjadi harimau penjaga hutan.
“Ingul itu bukan pohon biasa. Ia adalah penjaga hukum adat yang membisu namun tak terkalahkan,” ujar Shohibul dengan nada khidmat.
Arsip yang Masih Bernafas
Di penghujung percakapan, Siregar mengajak kita membaca ulang arsip kolonial bukan sebagai catatan mati, tetapi sebagai medan kontestasi. Tanda-tanda seperti cap jari, goresan simbol, hingga bubuk kemenyan dalam dokumen menunjukkan adanya jejak protes dari para juru tulis lokal.
“Generasi baru Simalungun hari ini bukan sekadar pembaca arsip, mereka adalah penafsir dan pewaris. Kolonial mungkin menulis sejarah, tapi kitalah yang memaknainya,” tutup Siregar .
Catatan Penutup: Menyuarakan yang Terkubur
Diskusi ini menegaskan pentingnya meninjau ulang historiografi Indonesia, terutama narasi tentang perlawanan lokal. Bagi Sirwgar, membongkar kebohongan kolonial bukan sekadar kerja sejarah, melainkan kerja kemanusiaan.
“Hanya yang tuli pada sungai menyebut kita primitif,” ujar Siregar mengutip surat batak tahun 1911.
Di tengah gempuran teknologi, modernitas, dan dominasi narasi global, kisah-kisah Simalungun mengingatkan kita bahwa tanah, roh, dan cerita rakyat tetap menjadi kompas arah bangsa. (*)
✒️ Tim Redaksi