Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PW Muhammadiyah Sumatera Utara
Di antara gemuruh ombak Selat Malaka, seorang nelayan di Pantai Cermin, Serdang Bedagai, memandang jauh ke horizon. Perahunya yang berusia 15 tahun hanya sanggup membawa pulang 20 kg ikan hari ini—separuh dari hasil satu dekade lalu. Ironis, ia berdiri di atas wilayah dengan potensi perikanan 1,24 juta ton per tahun, di provinsi yang menyimpan 128.000 ton tuna albakora. Inilah paradoks kelautan Indonesia: “surga biodiversitas yang dikelilingi lorong-lorong kemiskinan”.
Kekayaan yang Terlupakan
Indonesia bukan sekadar zamrud khatulistiwa. Ia adalah raksasa biru dengan 6,4 juta km² laut—ruang hidup bagi 2.200 spesies ikan ekonomis. Di Sumatera Utara saja, garis pantai 1.901 km mampu menjadi nadi ekonomi bagi jutaan jiwa.
Data Kementerian Kelautan 2023 menunjukkan, setiap hektar tambak udang windu bisa menghasilkan Rp 1,2 miliar per tahun jika dikelola modern. Tapi realitanya? 78% nelayan kita terjebak dalam siklus “tangkap-jual-hutang” tanpa akses teknologi dan pasar.
Belajar dari Para Pelaut Global
Sementara kita bergulat dengan jaring usang, Norwegia membangun kerajaan salmonnya dengan senjata bernama “knowledge-based aquaculture”. Mereka menginvestasikan 3,5% PDB sektor perikanan untuk riset genetika—hasilnya, satu ton salmon Norwegia bernilai Rp 126 juta, delapan kali lipat nilai ekspor ikan Indonesia.
Di Thailand, pemerintah mengubah pelabuhan nelayan kecil menjadi “food valley” berstandar UE. Kini, 85% produk mereka berupa fillet siap saji, bukan bahan mentah beku.
Titik Nadir di Selat Malaka
Di perairan strategis Sumut, kapal asing berpintu Panama leluasa melakukan transshipment ilegal. Koalisi untuk Keadilan Perikanan mencatat, 35% potensi tuna kita dicuri setiap tahun—kerugian setara Rp 4,3 triliun. Sementara di darat, 42% mangrove rusak berat, mengancam habitat udang windu. Padahal, BRIN membuktikan setiap hektar mangrove utuh bisa menyerap 1.083 ton CO₂ sekaligus menjadi “pembibitan alami” ikan.
Jalan Pulang menuju Ekonomi Biru
Di Belawan, secercah harapan muncul dari klaster udang syariah berbasis biosekuriti level-3. Di sini, teknologi resirkulasi dan sertifikasi SGEC-ASC berhasil meningkatkan produktivitas 300% dibanding tambak tradisional. Model ini membuktikan: integrasi ilmu-ilmu terkini dengan kearifan lokal adalah kunci.
Seruan Aksi
Maka, melalui prinsip “Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur”, kami mengajak semua pihak:
Pertama, jadikan masjid sebagai pusat edukasi kelautan. Setiap khutbah Jumat bisa menjadi media sadarkan pentingnya larangan penangkapan destruktif (QS Al-A’raf: 56).
Kedua, transformasi zakat menjadi dana abadi ekonomi biru. Skema syirkah mudharabah bisa membiayai cold storage terapung di Pulau Berhala.
Ketiga, bangun sekolah laut di setiap pesisir—tempat nelayan muda belajar akuakultur digital dan fiqh muamalah kelautan.
Penutup: Laut sebagai Amanah
Bila Nabi Nuh diperintahkan membangun bahtera untuk menyelamatkan peradaban, maka tugas kita kini adalah membangun “bahtera biru” penyelamat generasi mendatang.
Di Selat Malaka yang legendaris, gema azan dari ratusan masjid pesisir harus menjadi penanda: laut adalah amanah Ilahi, bukan barang jarahan. Saatnya kita rawat mutiara biru ini dengan ilmu, iman, dan teknologi—sebelum yang tersisa hanyalah kenangan tentang negeri bahari yang lupa pada jati dirinya.
“Dan Dialah yang menundukkan lautan agar kamu dapat memakan darinya daging yang segar…” (QS An-Nahl: 14)*