TAJDID.ID~Medan || Dosen UIN Sumatera Utara (UINSU), Dr. Faisal Riza, membongkar ancaman sistemik politik uang terhadap demokrasi Indonesia dalam Diskusi Politik Bulanan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PW Muhammadiyah Sumut (LHKP-PWMSU). Acara digelar di Aula Gedung Dakwah Muhammadiyah Medan, Sabtu (12/7).
Diskusi ini menghadirkan empat pakar: Dr. Warjio, Dr. Mujahiddin, Dr. Amsal Nasution, dan Dr. Faisal Riza, dengan moderator Dr. Sahran Saputra.
Fakta Kritis Politik Uang
Berdasarkan kajian empiris, Faisal Riza memaparkan temuan mengkhawatirkan.
Pertama, toleransi tinggi terhadap praktek politik uang. Ia mengungkapkan, 46,9% masyarakat Indonesia menerima praktik politik uang sebagai hal “biasa”.
Kedua, efek politik uang mematikan demokrasi. “Sebanya 35% pemilih mengaku terpengaruh uang/hadiah saat mencoblos,” ujar Faisal.
Ketiga, biaya fantastis, dimana rata-rata 30,45% dana kampanye (miliaran rupiah) dialokasikan untuk politik uang.
Keempat, target strategis. Menurut Faisal, swing voters (pemilih mengambang) menjadi sasaran utama, bukan loyalis partai.
Dalam kesempatan itu Dr. Faisal Riza menegaskan, bahwa politik uang mengubah kedaulatan rakyat menjadi pasar gelap transaksi suara. “Ini pengkhianatan terhadap esensi demokrasi. Demokrasi direduksi jadi bazar material—gagasan kalah oleh amplop dan beras.” ujarnya.
“Legitimasi pemilu hancur ketika suara rakyat dibeli dengan uang haram, sebagaimana peringatan QS. Al-Baqarah: 188.” imbuhnya.
Faisal juga membandingkan Indonesia dengan negara lain terkait fenomena politik uang ini. Misalnya di Korsel dan Eropa, penegakan hukum ketat menekan politik uang hingga level 10–15%. Sedangkan di India, praktek serupa menjangkiti 10–20% pemilih, meski minim pelaporan.
Dalam konteks pengalaman Indonesia, menurutnya sistem proporsional terbuka memperparah praktik politik uang ini karena memicu kompetisi individu berbiaya tinggi.
Karena itu Faisal mengajukan beberapa solusi terkait politik uang.
Pertama, penegakan hukum. Menurut Faisal pelaku politik uang harus diberi sanksi berat dan pengawasan independen seperti Korsel.
Kedua, transparansi pendanaan. Audit publik dan database terbuka ala Inggris.
Ketiga, menggencarkan pendidikan politik dengan membangun kesadaran anti-transaksi suara.
Keempat, melakukan reformasi sistem pemilu, yakni beralih ke proporsional tertutup dan pilkada bergilir.
Peran Strategis Muhammadiyah
Ketua LHKP-PWMSU, Shohibul Anshor Siregar, menegaskan komitmen organisasi: “LHKP hadir untuk mendorong kebijakan berkeadilan, menjaga netralitas, dan memperkuat partisipasi warga Muhammadiyah dalam politik yang sehat.”
Pembicara lain, Dr. Amsal Nasution, menambahkan: “Politik uang adalah bibit oligarki. Jika tidak dicegah, demokrasi hanya akan jadi milik para pemodal.”
Data Transparansi Global
Studi yang dirujuk Faisal menunjukkan Indonesia tertinggal dalam transparansi keuangan politik:
- Aspek Indonesia Korsel/Inggris
- Penegakan Hukum Lemah, banyak celah Sanksi berat, audit ketat
- Indeks Korupsi Skor 36 (rendah) Skor 56–75 (tinggi)
Penutup: Darurat Restorasi Demokrasi
Diskusi ditutup dengan seruan bersama: bahwa politik uang harus ditetapkan sebagai kejahatan terhadap kedaulatan rakyat. Rekomendasi kebijakan konkret akan disusun LHKP-PWMSU untuk advokasi ke pemerintah.
Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Muhammadiyah bergerak dalam kajian politik kebangsaan, penguatan partisipasi publik, dan advokasi kebijakan berkeadilan. (*)