TAJDID.ID~Medan || Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Dr. Mujahiddin MAP mengungkap korelasi mengerikan antara politik uang dan kelahiran kembali feodalisme dalam bentuk baru (neo-feodalisme) pada Diskusi Politik Bulanan LHKP-PW Muhammadiyah Sumut.
Acara yang digelar di Aula Gedung Dakwah Muhammadiyah Medan, Sabtu (12/7), ini juga menghadirkan Dr. Faisal Riza (UINSU), Dr. Warjio, dan Dr. Amsal Nasution, dengan dioandu moderator Dr. Sahran Saputra.
Neo-Feodalisme: Oligarki Modern yang Memakan Demokrasi
Berdasarkan analisis genealogis, Mujahiddin menjelaskan, politik uang merupakan warisan feodalisme. Politik uang adalah produk sistem patron-klien feodal, di mana kekuasaan bergantung pada kontrol sumber daya oleh segelintir elite.
Menurutnya, oligarki adalah manifestasi neo-feodalisme, dimana kekuasaan dan kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir elite yang membatasi mobilitas sosial rakyat. “Dalam konteks kekinian, kelompok oligarki bertindak sebagai ‘tuan tanah modern’ yang menguasai ekonomi dan politik melalui jaringan koneksi eksklusif,” ungkap Ketua Prodi Kesejahteraan Sosial FISIP UMSU ini.
Akibatnya, kata Mujahiddin, muncul potret ketimpangan ekstrem di negeri ini, dimana kekayaan 50 orang terkaya Indonesia setara dengan harta 50 juta warga biasa atau 15% PDB nasional.
Selain itu, politik dinasti dan kapitalisasi simbol kekuasaan adalah wajah baru feodalisme yang melahirkan ‘pemerintahan boneka’. “Dalam arena kuasa ala Bourdieu, politik uang adalah senjata elite untuk mereproduksi hierarki melalui modal ekonomi dan simbolik.” tegasnya.
Selanjutnya Dr. Mujahiddin mengutip temuan kritis Aspinall dan Berenschotb tentang 7 bentuk transaksi kuasa: yakni dalam bentuk kontrak pemerintah, jabatan, layanan publik, program sosial, bansos, perizinan, dan uang tunai.
Jejak Klientelisme: Dari Pilpres 2009 hingga 2024
Dr Mujahidin menjelaskan bagaimana bentuk Transaksi Kuasa: diantaranya Kontrak pemerintah, jabatan, layanan publik, program sosial, bansos, perizinan, dan uang tunai.
Terkait Jaringan Patron-Klien, Mujahiddin menyebut Lembaga politik bekerja melalui “personalized network for material benefits”, mengubah demokrasi menjadi pasar transaksional.
“Pada 2024 praktik ini masih terjadi. Aliran dana kampanye terselubung masih terjadi melalui skema proyek fiktif dan bansos politik,” ungkapnya.
.Reformasi Sistem: Gagasan Radikal
Untuk memutus siklus neo-feodalisme, Dr. Mujahiddin merekomendasikan beberapa hal.
Pertama, audit publik Partai Politik harus dilakukan. “Tutup partai yang terbukti melanggar!” tegasnya.
Kedua, ganti sistem pemilu. “Terapkan kembali sistem proporsional tertutup dan pilkada melalui DPRD untuk minimalkan transaksi individu,” ujarnya
Ketiga, peringatan Keputusan MK No.135/2023: Dikatajannya, penunjukan Pejabat Daerah (PJ) oleh pusat dangat berpotensi menghidupkan “pemerintahan boneka”.
Keempat, perkuat Lembaga Legislatif: “Sepertinya kita perlu hadirkan utusan golongan sebagai penyeimbang oligarki di parlemen,” ujar Mujahiddin.
Muhammadiyah: Garda Terdepan Lawan Ketimpangan
Menanggapi hal ini, Ketua LHKP-PWMSU, Shohibul Anshor Siregar, menegaskan peran strategis lembaga yang dipimpinnya.
Siregar mengatajan, LHKP Muhammadiyah akan mendorong kebijakan berkeadilan dan mengawal netralitas organisasi. “Kita harus jadi benteng melawan politik transaksional yang merusak martabat bangsa.” ujarnya.
“Partisipasi warga Muhammadiyah dalam politik sehat adalah jihad konstitusional!”
imbuhnya.
Tindak Lanjut: Deklarasi Anti-Feodalisme
Diskusi dihadiri puluhan aktivis, akademisi, dan perwakilan PWM se-Sumut ini ditutup dengan sejumlah komitmen:
- Riset Lanjutan. LHKP-PWMSU akan mengkaji implementasi sistem proporsional tertutup.
- Advokasi Kebijakan: Desakan revisi UU Pemilu dan penguatan pengawasan dana kampanye.
- Pendidikan Politik. Kaderisasi pemilih kritis berbasis pesantren dan kampus Muhammadiyah.
Menurut Siregar, komitmen ini selaras dengan fungsi strategis LHKP. Fungsi strategis LHKP meliputi: Pengembangan partisipasi politik warga, advokasi kebijakan publik berkeadilan, penjaga netralitas dan integritas institusi dan pusat kajian politik kebangsaan. (*)