TAJDID.ID~Medan || Sebagai kota metropolitan terbesar ketiga di Indonesia, Medan seharusnya berdiri tegak sebagai wajah keteraturan dan kemajuan. Namun harapan itu seperti patah di tengah jalan.
“Kota ini justru tampak terjebak dalam kekacauan tata kelola dan budaya hukum yang nyaris tak berjejak. Medan, alih-alih menjadi etalase peradaban, justru memperlihatkan gejala kehilangan arah,” ujar Farid Wajdi, Founder Ethics of Care melalui keterangan tertulis, Senin (30/6).
Ethics of Care melihat pelanggaran hukum telah menjadi pemandangan sehari-hari: dari merokok di ruang publik hingga pungutan liar di berbagai lini pelayanan. “Penegakan hukum lemah, sementara masyarakat pun terlanjur permisif,” tegas Farid.
“Ketiadaan sanksi yang tegas dan ketidakhadiran pengawasan membuat pelanggaran seolah menjadi bagian dari kebiasaan kota,” imbuhnya.
Kota ini seakan berjalan tanpa arah yang tegas. Tak ada narasi pembangunan yang menyatu, tak ada sistem yang mengontrol dengan integritas. Yang ada justru toleransi berjamaah terhadap kekacauan
Selain itu, kondisi lalu lintas tak kalah semrawut. Pengendara kerap melanggar rambu, menyerobot trotoar, bahkan melawan arus lalu lintas tanpa rasa bersalah. “Aparat pun seakan memilih diam. Jalanan Medan, dalam kenyataannya, tidak hanya mencerminkan ketidaktertiban, tapi juga lemahnya kendali pemerintah terhadap ruang publik,” ungkap Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 ini.
Ethics of Care juga menyoroti sampah yang berserakan di banyak titik kota mencerminkan buruknya sistem pengelolaan. Minimnya tempat sampah dan pengangkutan yang tak konsisten menandai kegagalan manajemen kota dalam menjalankan fungsi dasarnya. Bahkan trotoar, ruang yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki, telah lama direbut oleh parkir liar, pedagang kaki lima, hingga bangunan ilegal.
“Parkir liar tumbuh subur tanpa kendali. Tidak adanya karcis resmi dan lemahnya pengawasan memunculkan pertanyaan klasik yang hingga kini belum dijawab: siapa yang mengelola dan ke mana mengalir dana parkir kota ini?,” kata Farid.
Sementara itu, pungli masih menjadi penyakit lama yang tak kunjung sembuh. Sekolah, pasar, bahkan layanan administrasi publik masih kerap dibumbui ‘tarif tak resmi’. Masyarakat dipaksa membayar lebih, sementara kepercayaan terhadap institusi terus tergerus.
Ketimpangan juga tampak pada aspek penerangan dan keamanan. Di pinggiran kota, jalan-jalan masih minim lampu, menjadi celah empuk bagi aksi kriminalitas. “Kasus begal dan pencurian terus menghantui warga, menyisakan rasa tidak aman di kota yang semestinya modern dan tertib,” sebut Farid.
Sayangnya, kata Farid, pelayanan publik pun belum mampu menjawab tantangan zaman. Masih banyak instansi yang lamban, tak transparan, dan belum sepenuhnya bebas dari praktik birokrasi lama yang tidak ramah warga.
Ethics of Care menilai, ungkapan “kota tak bertuan” tampaknya bukan lagi sekadar kritik emosional, melainkan refleksi dari realitas tata kelola yang lepas kendali. Di balik status “metropolitan”, Medan justru memamerkan wajah yang gamang: lemah dalam penegakan aturan, amburadul dalam pengawasan, dan permisif terhadap pelanggaran.
“Kota ini seakan berjalan tanpa arah yang tegas. Tak ada narasi pembangunan yang menyatu, tak ada sistem yang mengontrol dengan integritas. Yang ada justru toleransi berjamaah terhadap kekacauan,” ujar Farid.
Menurut Farid, Medan tak kekurangan potensi. Tapi tanpa visi yang kuat, tanpa keberanian untuk menegakkan aturan, dan tanpa kemauan untuk membenahi sistem secara menyeluruh, kota ini akan terus berputar dalam lingkaran stagnasi. “Kota metropolitan bukan sekadar gelar administratif. Ia menuntut kepemimpinan yang mampu mengembalikan wibawa dan arah,” pungkasnya. (*)