TAJDID.ID~Medan || Gempuran pragmatisme korup telah menggerus nilai luhur Dalihan Na Tolu dalam kasus korupsi proyek jalan di Sumatera Utara.
Menyikapi Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang menjerat pejabat Dinas PUPR dan legislator, sosiolog Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar mendesak pertanggungjawaban moral melalui sidang adat dan pembubaran perusahaan terlibat. “Ini pengkhianatan budaya yang harus diselesaikan dengan kearifan lokal,” tegasnya.
Khianat terhadap Dalihan Na Tolu
Berdasarkan konferensi pers Juru Bicara KPK (27/6/2025) yang diliput media nasional, OTT di Sumut mengamankan pejabat Dinas PUPR dan anggota legislatif terkait dugaan suap pengadaan proyek jalan. “Modus melibatkan aliran dana untuk pengamanan paket pekerjaan dan manipulasi proses pengadaan,” jelas sumber resmi KPK seperti dikutip Antara.
Sebuah kantor yang mengerjakan proyek jalan di Tapanuli Selatan, yakni PT Dalihan Natolu Grup juga yang ada di Kota Padangsidempuan juga sudah disegel KPK. Dalihan Natolu ini adalah sebuah perusahaan kontraktor yang sangat terkenal di Tapanuli Selatan.
Shohibul Anshor Siregar, Dosen Sosiologi FISIP UMSU, menyoroti dampak budaya: “Fakta resmi KPK ini membuktikan nilai budaya Batak Dalihan Na Tolu dibajak menjadi alat kejahatan.” tegas Siregar.
Ia memaparkan pengkhianatan tiga pilar. Pertama, masyarakat (yang dapat disetarakan dengan hula-hula atau mora) sebagai pemegang otoritas moral atau sebagai primus interpares justru dikorbankan.
Kedua, pejabat sebagai boru atau anak boru berubah menjadi pemeras.
Ketiga, kolusi antar-kroni mengubah manat mardongan tubu (solidaritas) menjadi kartel korupsi.
“Ini buah anomie (kekosongan norma) akibat kapitalisme liar dan hegemoni korporasi,” tandasnya merujuk teori Durkheim dan Gramsci.
Pertanggungjawaban di hadapan Rapat Adat, Siregar menegaskan penanganan hukum tidak cukup: “Pelaku wajib mempertanggungjawabkan dosa budaya pada sidang adat yang diselenggarakan secara khusus!” tegasnya.
Ia merinci tiga tuntutan: pertama, permintaan maaf publik di hadapan majelis adat yang memberi kesempatan kepada hula-hula (pemuka adat/agama), boru (masyarakat), dan dongan tubu (sesama marga) memusayawarhkan sanksi adat, disertai ritual pembersihan diri dan ganti rugi, misalnya dengan besaran paling tidak setara 10x nilai korupsi yang dituduhkan. “Tentu hal ini akan dilakukan pasca putusan pengadilan telah inkrach,” sebut Siregar.
Kedua, pembubaran perusahaan yang terlibat dengan meminta pihak berwenang melakukan pencabutan izin usaha dan penyitaan aset untuk diserahkan kepada masyarakat. “Mereka parhata sia (penipu ulung) yang harus dimusnahkan agar tak jadi virus abadi!” ujar Siregar.
Ketiga, integrasi sanksi adat dalam birokrasi melalui pembuatan sanksi yang disepakati, termasuk untuk mempertimbangkan pelarangan seumur hidup bagi pelaku korupsi.
Sidang adat juga perlu memikirkan model pengawasan “Dalihan Na Tolu” sebagai solusi preventif. Siregar mengusulkan model ini beranggotakan tiga komponen berupa mora atau hula-hula yang di dalamnya para pemuka agama, pemuka adat dan akademisi dihimpun; anak boru atau boru yang diisi oleh pemimpin organisasi Masyarakat sipil (Muhammadiyah, NU, LSM dan elemen masyarakat sipil lainnya; kahanggi atau dongan tubu yang diisi oleh para pimpinan asosiasi profesi.
“Mereka akan mengawasi proyek strategis sebagai bentuk dekolonisasi tata kelola,” paparnya.
Peringatan: Jalan Menuju Neraka Budaya
Terakhir, Siregar mengingatkan dengan keras, bahwa korupsi sistematis akan mengubah Dalihan Na Tolu menjadi dongan tua (teman usang). “Proyek jalan ini adalah jalan tol menuju neraka budaya Batak,” kata Siregar
Revitalisasi kearifan lokal, tegasnya, adalah benteng terakhir penyelamatan peradaban.
Tuntutan sosiolog FISIP UMSU ini menegaskan: pemulihan masyarakat korupsional memerlukan pertanggungjawaban budaya di depan institusi adat. “Masyarakat beradab adalah yang berani menghukum pengkhianat budayanya sendiri,” pungkas Siregar. (*)