TAJDID.ID~Kupang || Rabu sore yang hangat di ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Di ruang kerja Asisten II Sekretaris Daerah Provinsi NTT, Rita Wuisan, pertemuan berlangsung penuh kehangatan, namun sarat makna.
Pimpinan Wilayah Aisyiyah (PWA) Nusa Tenggara Timur dipimpin langsung ketuanya, hadir bukan hanya membawa laporan kegiatan tetapi juga membawa semangat perubahan. Sebuah tekad perempuan untuk terus membangun peradaban dari akar rumput, dari timur Indonesia.
Audiensi yang dilaksanakan pada Rabu, 25 Juni 2025 tersebut diinisiasi oleh PWA NTT sebagai bentuk ikhtiar menjalin komunikasi aktif dan kolaborasi strategis dengan pemangku kepentingan daerah.
Ketua Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah NTT, Siti Aminah Has, menyampaikan peran Aisyiyah di berbagai sektor strategis di wilayah NTT mulai dari pendidikan, kesehatan, pemberdayaan sosial, hingga advokasi hukum dan HAM.
Sebagai organisasi perempuan Muhammadiyah yang telah berkiprah selama lebih dari satu abad, Aisyiyah telah menjejakkan kaki dan karya di pelosok-pelosok NTT.
Siti Aminah mengungkapkan, jejak Aisyiyah terhampar dalam bentuk sekolah-sekolah untuk anak-anak, posyandu untuk ibu dan bayi, pelatihan keterampilan bagi perempuan, serta layanan pendampingan hukum bagi mereka yang terpinggirkan. Semua itu dilakukan dalam diam, tapi menghadirkan dampak yang berbunyi.
“Aisyiyah berkiprah di sektor pendidikan, kesehatan, pemberdayaan sosial, hingga advokasi hukum dan hak asasi manusia,” ujar Siti Aminah. “Kami hadir di pelosok NTT, bukan sekadar mengisi ruang kosong, tetapi menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat.”
Tak heran jika apresiasi yang diberikan oleh Asisten II Setda Provinsi NTT bukanlah basa-basi birokratis. Rita Wuisan, menyampaikan rasa bangga dan hormatnya kepada Aisyiyah yang dinilai sebagai salah satu kekuatan yang aktif dalam membantu pembangunan sosial masyarakat NTT.
Ia menambahkan bahwa kiprah Aisyiyah di sektor pendidikan dan kesehatan telah nyata membantu tugas pemerintah daerah, terutama dalam konteks daerah-daerah yang masih tertinggal secara infrastruktur dan akses pelayanan dasar.
Dalam pertemuan itu, Suwarni Sulaiman selaku sekretaris PWA NTT menegaskan kembali posisi perempuan sebagai agen perubahan. Menurutnya, perempuan bukanlah objek pembangunan, tetapi subjek yang aktif, kreatif, dan memiliki kekuatan transformatif. Ia mengajak seluruh perempuan NTT untuk tak ragu mengambil peran, sekecil apa pun, demi kemajuan daerahnya.
“Ayooo perempuan, bangun dan bangkit. Kita majukan NTT ini dengan cara kita masing-masing,” serunya penuh semangat.
Seruan itu tak sekadar ajakan, tetapi juga refleksi dari kerja-kerja nyata Aisyiyah di lapangan. Di tengah keterbatasan anggaran dan sumber daya, Aisyiyah tetap setia menjalankan misi sosialnya dengan basis nilai Islam berkemajuan. Mereka hadir bukan untuk bersaing dengan negara, melainkan sebagai mitra yang sejajar dan saling menguatkan.
NTT, dengan segala potensi dan tantangannya, menjadi ladang pengabdian yang subur bagi gerakan perempuan seperti Aisyiyah. Di sinilah mereka menemukan makna dari sebuah istilah yang dulu digaungkan pendirinya: “menjadi pelita dalam gelap, menjadi jawaban di tengah sunyi.”
Pertemuan itu pun berakhir dengan optimisme. Optimisme bahwa jika diberi ruang dan kepercayaan, perempuan mampu menyulap keterbatasan menjadi kekuatan. Dan Aisyiyah di NTT adalah bukti hidup dari optimisme itu. (*)
✒️ Iwan Abdul Gani