“Generasi saya tidak memahami ini: bagaimana bisa Afrika, yang begitu kaya akan kekayaan, menjadi benua termiskin di dunia saat ini?” ujar Traoré
TAJDID.ID~Medan || Kemunculan Ibrahim Traoré sebagai pemimpin militer Burkina Faso melalui kudeta telah memicu gelombang perhatian global. Bukan hanya karena usianya yang terbilang muda, tetapi juga karena lantangnya retorika anti-Barat dan semangat Pan-Afrikanisme yang ia gelorakan. Fenomena ini, yang berakar kuat pada warisan eksploitasi kolonial dan tantangan keamanan internal yang akut, menghadirkan cermin berharga bagi Indonesia—sebuah negara yang juga tak henti berjuang melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalu kolonialnya.
Sejak mengkudeta kekuasaan pada September 2022, Kapten Ibrahim Traoré dengan cepat memposisikan diri sebagai simbol perlawanan baru di kawasan Sahel yang bergejolak. Dalam narasi yang ia bangun, Burkina Faso, layaknya banyak negara pasca-kolonial lainnya, terperangkap dalam lingkaran setan eksploitasi dan ketergantungan ekonomi yang telah berlangsung puluhan tahun. Kegagalan pemerintah sipil sebelumnya dalam menumpas pemberontakan jihadis yang merajalela pun menjadi justifikasi utama di balik kudetanya.
“Generasi saya tidak memahami ini: bagaimana bisa Afrika, yang begitu kaya akan kekayaan, menjadi benua termiskin di dunia saat ini?” ujar Traoré dalam sebuah pidato yang menjadi viral, sebuah seruan tajam yang menyoroti paradoks “kutukan sumber daya” yang melanda banyak negara bekas jajahan. Pidatonya ini secara gamblang menunjuk pada struktur ketergantungan yang diwarisi dari era kolonial, di mana kekayaan alam diekstraksi tanpa henti untuk kepentingan metropol, menyisakan kemiskinan dan ketidakstabilan di tanah asalnya.
Struktural Ketergantungan dan Cengkeraman Oligarki Lokal
Analisis mendalam terhadap kondisi ini mengungkapkan bahwa kolonialisme secara sistematis menciptakan apa yang disebut “struktural ketergantungan.” Melalui kebijakan ekonomi yang berorientasi pada ekstraksi bahan mentah, negara-negara penjajah memastikan bahwa bekas koloni mereka tetap menjadi pemasok komoditas mentah dan pasar yang loyal bagi produk manufaktur mereka. Pola ekonomi ini, sayangnya, berlanjut bahkan setelah kemerdekaan, diperparah dengan kemunculan oligarki lokal.
“Kasus Burkina Faso terang-benderang memperlihatkan bagaimana warisan kolonialisme tidak hanya meninggalkan batas-batas geografis yang artifisial, tetapi juga membentuk struktur ekonomi yang sangat rentan dan melahirkan elit lokal yang kerap bersekutu dengan kepentingan asing,” demikian analisis seorang pengamat sosial politik yang sering mengkritisi isu-isu kebangsaan dan geopolitik, Shohibul Anshor Siregar.
Oligarki ini, kata Siregar, seringkali menguasai sektor-sektor kunci dan sumber daya negara, menjadi penghalang utama bagi distribusi kekayaan yang adil dan pembangunan yang inklusif.
Siregar mengungkapkan, ketika kekayaan alam, seperti tambang emas di Burkina Faso, tidak dikelola secara transparan dan berkeadilan untuk kepentingan rakyat, ia justru rentan menjadi sumber korupsi dan konflik. “Ini adalah resource curse dalam wujud paling nyata,” kata Siregar.
“Kekayaan alam yang seharusnya menjadi berkah, justru bertransformasi menjadi kutukan yang memicu perebutan kekuasaan, korupsi endemik, dan pada akhirnya, pemiskinan sistemik bagi rakyat banyak.” imbuhnya.