TAJDID.ID~Medan || Dalam beberapa bulan terakhir, publik kembali dibuat geleng kepala menyaksikan ulah sejumlah pejabat publik yang memperlihatkan kemerosotan moral secara terang-terangan. Mereka bukan dikenal karena keberhasilan membangun atau menginspirasi dengan dedikasi, melainkan karena perilaku menyimpang dan gaya hidup mewah yang seolah menjadi bagian dari “gaya kepemimpinan” baru.
“Fenomena ini bukan hanya memalukan, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap pejabat yang seharusnya menjadi teladan,” ujar founder Ethics of Care, Farid Wajdi, Ahad (22/6).
Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 ini mengatakan, masalah yang dihadapi jauh lebih serius dari sekadar pelanggaran administrasi. “Ini adalah cerminan dari krisis etik di lingkar elit kekuasaan.
Menurut Farid, dalam negara demokrasi yang sehat jabatan publik bukan hanya peran birokratis, melainkan juga simbol tanggung jawab moral. “Ketika perilaku pejabat jauh dari nilai-nilai kepantasan, maka pertanyaan tentang arah moralitas bangsa ini menjadi relevan untuk diajukan,” sebutnya.
Farid membeberkan contoh dari Kota Tual, Maluku, beredar video yang memperlihatkan sosok yang diduga wali kota menyawer penyanyi di kelab malam. Meski belum ada pernyataan resmi, publik telanjur menilai. “Jabatan publik tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab moral—bahkan dalam ranah pribadi,” tegasnya.
Kisah dari Nusa Tenggara Barat tak kalah memprihatinkan. Seorang kepala desa diduga menyalahgunakan dana desa hingga ratusan juta rupiah untuk berpesta di tempat hiburan. Dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan malah dihamburkan demi kesenangan sesaat. “Ini jelas bukan sekadar tindakan tidak etis, tapi pengkhianatan terhadap amanah warga,” ujarnya.
Dari Medan, muncul kasus camat dan dua lurah yang terjerat penyalahgunaan narkoba. Namun sayangnya, hingga kini tak ada proses hukum yang jelas.
Farid mengatakan, ketika pelanggaran berat hanya ditanggapi dengan pembiaran atau rotasi jabatan, rasa keadilan publik terinjak-injak. Paling anyar, Kepala desa yang viral nyawer di diskotik di Cirebon.
Dari daftar kasus itu, kata Farid, hukum tampak tidak lagi adil—tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Di Sumatera Selatan, pesta ulang tahun mewah seorang pejabat di hotel berbintang, yang didanai dari anggaran hibah, memunculkan pertanyaan besar. “Apakah empati dan kesadaran sosial benar-benar telah hilang dari para pelayan publik?,” tanya Farid.
Tak hanya eksekutif, kalangan legislatif pun ikut tercoreng. Beberapa anggota DPRD kedapatan berjudi dan karaoke saat jam kerja. Menurut Farid, ini bukan sekadar soal kedisiplinan, melainkan bukti bahwa sebagian elite merasa jabatan adalah hak istimewa, bukan amanah untuk melayani.
Sebagian pejabat berusaha membela diri dengan menyatakan bahwa pesta-pesta itu menggunakan dana pribadi. Namun publik tidak semudah itu diyakinkan. Gaya hidup mewah tetap menciptakan kecurigaan—dari mana asal kekayaan tersebut?
Menurut para ahli, kata Farid, tindakan seperti ini bukan sekadar kesalahan prosedural, tapi wujud nyata pengkhianatan terhadap kepercayaan konstituen. Sayangnya, sanksi yang dijatuhkan masih terlalu ringan. “Tanpa penegakan hukum yang tegas dan konsisten, perilaku menyimpang semacam ini akan terus menjadi budaya,” kata Farid.
Ethics of Care memandang, sudah saatnya lembaga pengawasan dan penegak hukum bertindak nyata, bukan sekadar simbolik. “Negeri ini perlu reformasi yang tidak hanya menyentuh struktur birokrasi, tapi juga menyentuh jantung moral aparatur negara,” ujar Farid.
“Publik, media, dan institusi pendidikan harus bersinergi dalam membangun kesadaran etika publik. Ketika rakyat aktif mengawasi dan bersuara, ruang untuk penyimpangan akan menyempit,’ imbuhnya.
Ethics of Care menilai, Indonesia tidak kekurangan aturan bahkan sudah obesitas, masalahnya yang dibutuhkan adalah integritas dan keteladanan. “Jabatan adalah amanah, bukan tempat berpesta. Etika publik adalah pondasi kepemimpinan yang sejati—dan sudah waktunya untuk ditegakkannya kembali,” pungkas Farid. (*)