Oleh: Nashrul Mu’minin
Content Writer, Yogyakarta
Isu tentang menjadikan Kota Solo sebagai daerah dengan status khusus atau Special Region of Surakarta (SRS) kembali mencuat ke permukaan. Diskursus ini tidak sekadar soal prestise administratif atau status hukum, tetapi lebih dalam—menyentuh sejarah, potensi ekonomi, kebudayaan, hingga peran strategis Solo dalam arsitektur nasional Indonesia. Dalam dinamika politik desentralisasi, mengangkat Solo ke status yang istimewa bukanlah hal yang utopis, melainkan langkah progresif jika ditopang dengan argumentasi historis, basis budaya, serta keberadaan kekuatan sosial masyarakat sipil seperti Muhammadiyah yang telah lama menjadi tulang punggung dinamika pendidikan, ekonomi, dan moral masyarakat Surakarta.
Secara historis, Surakarta memiliki rekam jejak yang kuat untuk mengajukan status istimewa. Sejak masa kolonial hingga proklamasi kemerdekaan, Surakarta memegang peranan penting sebagai pusat kekuasaan, kebudayaan, dan gerakan kebangsaan. Di masa awal Republik, Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran bahkan sempat diakui sebagai daerah swapraja seperti Yogyakarta.
Namun, akibat ketegangan politik dan dinamika internal, status tersebut hilang pada 1946. Kini, setelah lebih dari tujuh dekade berjalan, muncul kembali wacana untuk merehabilitasi status tersebut, bukan hanya sebagai bentuk penghormatan atas sejarah, tetapi juga sebagai pengakuan terhadap potensi strategis Solo hari ini.
Kota Solo bukan sekadar simbol budaya Jawa yang hidup, melainkan juga episentrum ekonomi kreatif, pariwisata, dan gerakan sosial keagamaan. Di antara kekuatan lokal yang menopang kemajuan Solo, Muhammadiyah menjadi institusi sipil yang paling menonjol. Berkantor pusat di Yogyakarta, tetapi memiliki akar kuat di Surakarta, Muhammadiyah telah membangun ekosistem pendidikan, kesehatan, dan kewirausahaan sosial yang melampaui fungsi-fungsi negara. Dari kampus besar seperti Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) hingga rumah sakit, amal usaha, dan kegiatan dakwah yang mengakar ke masyarakat, Muhammadiyah telah membuktikan bahwa kekuatan masyarakat sipil bisa menjadi motor pembangunan daerah.
Muhammadiyah tidak hanya bergerak dalam dimensi pelayanan sosial. Di Surakarta, ia menjadi salah satu fondasi moral masyarakat yang memperkuat kohesi sosial, menciptakan ruang dialog keagamaan yang moderat, serta menjadi jembatan antara tradisi dan kemajuan. Maka, ketika berbicara soal menjadikan Solo sebagai daerah istimewa, keberadaan Muhammadiyah bisa menjadi salah satu argumen substantif: bahwa Solo memiliki kekuatan sosial yang cukup tangguh untuk menjalankan otonomi dengan akuntabilitas dan kapasitas yang memadai.
Dari perspektif kebudayaan, Solo adalah miniatur kebesaran peradaban Jawa. Dari batik hingga karawitan, dari Sastra Jawa hingga filosofi kejawen yang diolah dalam kerangka Islami melalui gerakan Muhammadiyah dan pondok pesantren lain, Solo memperlihatkan bagaimana warisan budaya dapat hidup berdampingan dengan modernitas. Bahkan, banyak program-program Muhammadiyah yang mengangkat kembali nilai-nilai budaya lokal dalam bingkai Islam rahmatan lil ‘alamin. Inilah model keistimewaan yang tidak sekadar berbasis administratif, tetapi juga berbasis nilai, akhlak, dan karakter bangsa.
Potensi ekonomi Solo juga tidak bisa diabaikan. Dengan geliat UMKM, sentra industri kreatif, serta jaringan ekonomi yang sudah merambah digitalisasi, Solo memiliki daya dukung yang kuat untuk menjalankan otonomi daerah secara lebih leluasa. Apalagi, jika status istimewa itu membuka peluang fiskal tambahan atau kewenangan khusus, maka Solo akan mampu menjadi lokomotif pembangunan kawasan Solo Raya, bahkan menjadi pusat gravitasi ekonomi baru di Jawa Tengah.
Namun, mewujudkan Special Region of Surakarta tidak cukup hanya dengan semangat sejarah dan kebudayaan. Dibutuhkan roadmap yang jelas, riset akademik, dukungan masyarakat sipil (seperti Muhammadiyah), dan tentu saja political will dari pemerintah pusat. Muhammadiyah bisa mengambil peran strategis dalam menginisiasi wacana publik, membuat kajian akademik, hingga menjadi fasilitator dialog antara berbagai elemen masyarakat. Ini adalah bagian dari jihad konstitusional yang selama ini menjadi ciri gerakan Muhammadiyah dalam memperjuangkan keadilan struktural di Indonesia.
Sisi lain yang tak kalah penting adalah implikasi politis dari status istimewa tersebut. Kita harus belajar dari model DIY yang berhasil menjaga harmoni antara budaya kerajaan, sistem demokrasi, dan pelayanan publik. Jika Solo ingin mengajukan status istimewa, maka harus ada mekanisme yang memastikan keistimewaan itu memperluas partisipasi rakyat, bukan mempersempitnya.
Dalam konteks ini, Muhammadiyah juga punya pengalaman dalam membangun sistem demokrasi berbasis musyawarah, transparansi, dan meritokrasi di lingkungan organisasinya—sebuah modal sosial yang bisa diadopsi untuk membentuk tata kelola daerah istimewa yang akuntabel.
Dengan semakin membaiknya konektivitas dan status Solo sebagai simpul penting dalam jaringan kereta cepat dan infrastruktur nasional, menjadikan Solo sebagai daerah istimewa juga akan memperkuat posisi strategisnya dalam skala nasional. Ini adalah momentum yang tepat untuk membangun sistem otonomi yang tidak hanya simbolis, tetapi substantif, dan Muhammadiyah bisa menjadi mitra strategis dalam pengawalan ide besar ini.
Singkatnya, menjadikan Solo sebagai Special Region of Surakarta bukanlah mimpi kosong. Ini adalah cita-cita yang bisa diraih jika semua potensi dikerahkan dan dimobilisasi, dari kekuatan sejarah dan budaya, ekonomi kreatif, hingga kekuatan sosial keagamaan seperti Muhammadiyah. Ini saatnya Solo naik kelas, bukan hanya sebagai kota budaya, tetapi juga sebagai daerah istimewa yang memberi kontribusi besar untuk masa depan Indonesia.(*)