TAJDID.ID~Medan || Belum lama ini Presiden Prabowo Subianto mengumumkan akan menaikkan gaji hakim hingga 280 persen.
Ketika pemerintah mengusulkan kenaikan gaji hakim hingga 280 persen, publik tentu bertanya-tanya: benarkah ini akan menjadi solusi jitu memberantas korupsi di lembaga peradilan?
Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, mengatakan
dalam wacana yang terdengar manis ini, publik tergoda percaya bahwa uang bisa membeli integritas. Bahwa dengan penghasilan yang “layak”, hakim tak akan lagi tergiur suap,
Namun, Anggota Komisi Yudisial Tahun 2015~2020 ini mengungkapkan, bahwa sejarah dan pengalaman—baik dari dalam maupun luar negeri—berulang kali menunjukkan: integritas tidak sekadar persoalan isi dompet. “Ia adalah soal sistem. Dan sistem peradilan kita masih jauh dari kata sehat,” ujar Farid, Selasa (17/6).
“Mari lihat kenyataan di balik toga. Selama ini, proses rekrutmen hakim masih lebih banyak ditentukan oleh koneksi ketimbang kompetensi. Integritas belum menjadi fondasi, sekadar bonus bila ada,” imbuhnya.
Selama ini, lanjut Farid, Komisi Yudisial yang seharusnya jadi penjaga etika, terbatasi wewenangnya. Sementara pengawasan di Mahkamah Agung tak cukup independen untuk mencegah pelanggaran dari dalam. “Semua ini menciptakan ruang gelap—tempat di mana mafia hukum bisa tumbuh subur, terlindungi oleh sistem yang permisif” kata Farid.
Marak Jual Beli Perkara
Lalu ada budaya “jual-beli” perkara yang sudah lama jadi rahasia umum. Lobi vonis, intervensi kekuasaan, hingga transaksi keputusan menjadi rutinitas yang nyaris normal.
Dalam kondisi seperti ini, kata Farid, vonis yang ringan untuk pelaku korupsi besar atau hukuman berat untuk pelanggaran kecil bisa saja tidak lagi mencerminkan keadilan, tetapi harga.
Selain itu, jangan lupa, beban kerja yang timpang serta fasilitas minim di daerah juga jadi lubang besar dalam integritas. Hakim yang bekerja di bawah tekanan dan serba kekurangan lebih rentan terjebak dalam tawaran “solusi instan”.
Ethics of Care memandang, apa yang dibutuhkan bukan hanya tambahan rupiah, melainkan reformasi menyeluruh: dari cara hakim dipilih, bagaimana mereka diawasi, hingga bagaimana putusan mereka dipertanggungjawabkan secara publik.
Teknologi bisa membantu membuka transparansi proses hukum. Partisipasi masyarakat sipil bisa memperkuat pengawasan. “Tapi semua itu hanya mungkin jika ada kemauan politik yang benar-benar serius,” tegas Farid.
Belajar dari Negara Lain: Gaji Besar Tak Selalu Efektif
Farid kemudian membeberkan pengalaman Ghana dan Nigeria yang bisa menjadi cermin pelajaran. Di sana, aparat hukum digaji tinggi, tapi korupsi tetap hidup karena akuntabilitas lemah dan sistem dibiarkan rusak. Indonesia tentu tak ingin mengulang cerita serupa.
“Naikkan gaji hakim? Silakan. Tapi jangan berhenti di sana. Jangan biarkan kebijakan ini menjadi topeng kemewahan yang menutupi wajah peradilan yang sebenarnya masih kusam. Indonesia pun bisa jatuh ke lubang yang sama jika hanya fokus pada nominal tanpa membenahi sistem secara menyeluruh,” ujar Farid.
“Gaji besar tanpa reformasi ibarat menuang air ke dalam ember bocor!,” tambahnya.
Bukan Cuma Soal Gaji, Tapi Soal Keberanian Merombak Sistem
Ethics of Care menilai, kenaikan gaji hakim bisa jadi langkah awal yang positif. Tapi kalau sistemnya tetap bobrok, hasilnya hanya jadi perbaikan kulit luar. “Selama rekrutmen masih longgar, pengawasan setengah hati, dan budaya suap dibiarkan hidup, mafia peradilan akan tetap punya ruang bernapas,” kata Farid.
Menurut Ethics of Care,
Membersihkan dunia peradilan tak cukup dengan mengisi dompet. Yang dibutuhkan adalah nyali untuk bersih-bersih sistem: menyapu praktik busuk, membuka ruang transparansi, dan membangun budaya hukum yang berintegritas. “Sebab pada akhirnya, integritas tak bisa dibeli—ia dibangun, diuji, dan dijaga,” pungkas Farid.
Sebelumnya, Prabowo Subianto mengumumkan akan menaikkan gaji hakim demi kesejahteraan mereka. Tingkat kenaikannya bervariasi sesuai dengan golongan. “Kenaikan tertinggi mencapai 280 persen,” kata Prabowo dalam acara pengukuhan hakim di Balairung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Kamis, 12 Juni 2025.
Menurut Prabowo, golongan yang mendapat kenaikan tertinggi adalah hakim paling junior. Kendati demikian, gaji semua golongan hakim akan naik secara signifikan.
Prabowo berdalih kenaikan gaji hakim karena peran mereka sebagai benteng terakhir keadilan. Seraya bergurau, Prabowo mengatakan kalau perlu anggaran tentara dan polisi dikurangi demi menyejahterakan hakim.
Soalnya, kata Prabowo, percuma tentara dan polisi hebat jika koruptor selalu lolos begitu sampai di pengadilan karena dibebaskan hakim yang mendapat suap karena gajinya kecil. “Jadi kita benar-benar butuh hakim yang tidak bisa digoyahkan, tak bisa dibeli,” ujarnya. (*)