TAJDID.ID~Medan || Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar,
mengkritik keras kebijakan makroekonomi nasional yang menurutnya telah menjerumuskan Raja Ampat ke dalam krisis ekologis dan ekonomi yang berkepanjangan.
Ia menyebut situasi ini sebagai bentuk nyata dari “penjara makroekonomi”—suatu jebakan kebijakan yang mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal demi angka-angka pertumbuhan ekonomi jangka pendek.
“Raja Ampat hari ini adalah simbol kegagalan makroekonomi nasional dalam memahami dan menghargai keberlanjutan. Pendekatan yang hanya mengejar pertumbuhan investasi dan ekspor tambang telah membunuh potensi ekonomi lokal yang jauh lebih berkelanjutan,” ujar Siregar dalam wawancara di Medan, Ahad (9/6).
Ia merujuk pada masuknya industri pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat yang dekat dengan kawasan konservasi dan pemukiman masyarakat adat.
“Alih-alih memperkuat ekonomi masyarakat, kehadiran tambang justru mencabut akar ekonomi lokal yang bertumpu pada pariwisata berbasis konservasi. Ini adalah kekeliruan fatal,” tegasnya.
Menurut Shohibul, pariwisata dan konservasi alam di Raja Ampat memiliki potensi ekonomi berkelanjutan yang jauh lebih besar dibandingkan sektor ekstraktif.
“WWF telah mengestimasi potensi ekonomi dari sektor kelautan dan pariwisata di Raja Ampat mencapai Rp1,7 triliun per tahun jika dikelola dengan benar. Tapi semua itu dikorbankan demi logika makroekonomi yang keliru,” jelasnya.
Shohibul menyoroti peran penting Menteri Keuangan dalam menciptakan kondisi ini.
“Kebijakan fiskal dan insentif bagi industri tambang yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan adalah akar dari krisis ini. Menteri Keuangan adalah aktor utama yang paling bertanggung jawab. Ia gagal dalam mengelola trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan,” ucapnya.
Ia juga menambahkan bahwa pemerintah telah lalai dalam menegakkan perlindungan atas pulau-pulau kecil seperti Raja Ampat, yang semestinya dilindungi berdasarkan hukum.
“Lebih dari 500 hektare hutan telah rusak. Terumbu karang pun terancam. Ini bukan sekadar kerusakan lingkungan, tapi keruntuhan ekonomi masyarakat,” tambahnya.
Dalam konteks yang lebih luas, Shohibul menyatakan bahwa apa yang terjadi di Raja Ampat mencerminkan kelemahan sistemik dalam perencanaan pembangunan nasional.
“Ini bukan semata soal tambang. Ini adalah cermin dari cara berpikir negara yang masih mengukur kemajuan dengan angka-angka di atas kertas, bukan dengan kualitas hidup dan keberlanjutan,” tegasnya.
Ia mendesak pemerintah untuk segera menghentikan ekspansi tambang di Raja Ampat dan mengembalikan fokus pembangunan pada sektor yang berakar pada kearifan lokal dan konservasi.
“Kalau negara masih ingin punya masa depan, maka Raja Ampat harus dilindungi, bukan dijual,” pungkasnya. (*)