TAJDID.ID~Medan || Belakangan ini, masyarakat dikejutkan oleh dugaan pelanggaran labelisasi halal yang melibatkan warung makan Ayam Goreng Widuran di Solo, Jawa Tengah. Restoran ini diduga menggunakan minyak babi (lard) dalam proses pengolahannya, meskipun mencantumkan label halal pada produknya. Temuan ini memicu keresahan, khususnya di kalangan konsumen Muslim yang memiliki perhatian tinggi terhadap kehalalan makanan yang dikonsumsi.
Minyak babi atau lard merupakan lemak hasil olahan dari jaringan hewan babi yang dilelehkan, dan kerap digunakan dalam dunia kuliner—terutama di kalangan non-Muslim—karena dapat menghasilkan cita rasa gurih yang khas. Namun dalam ajaran Islam, babi dan seluruh turunannya tergolong haram, sehingga makanan yang diolah menggunakan bahan tersebut otomatis tidak memenuhi standar halal, walaupun komponen lain seperti ayam atau bumbu dasarnya tidak bermasalah secara syariat.
Terkait hal ini, Founder Ethics of Care, Farid Wajdi menjelaskan, dari sisi regulasi pencantuman label halal tanpa sertifikasi resmi dari otoritas berwenang merupakan pelanggaran hukum. Berdasarkan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), setiap produk yang diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki sertifikat halal, kecuali yang berasal dari bahan haram.
Selain itu, kata Farid, Pasal 57 UU yang sama melarang keras pencantuman label halal pada produk tanpa sertifikasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
“Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikategorikan sebagai penyesatan informasi dan dikenakan sanksi administratif maupun pidana,” tegas Farid, Senin (26/5).

Menurut Pengajar Hukum Perlindungan Konsumen UMSU ini, sanksi administratif yang dimungkinkan mencakup teguran tertulis, denda administratif, penarikan produk dari pasaran, penghentian sementara kegiatan usaha, hingga pencabutan izin usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 56-58 UU JPH. Bila ditemukan unsur penipuan atau pemalsuan, pelaku dapat dijerat dengan sanksi pidana sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 62 undang-undang tersebut memungkinkan hukuman penjara hingga 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp2 miliar.
Selain itu, Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penipuan juga dapat dikenakan apabila terbukti ada unsur kesengajaan untuk memperoleh keuntungan melalui manipulasi informasi mengenai status kehalalan produk.
“Apabila praktik semacam ini berlangsung dalam waktu yang lama, maka unsur kelalaian dan kesengajaan dapat memberatkan konsekuensi hukumnya. Apalagi jika terbukti bahwa pelaku usaha secara sistematis membangun persepsi halal palsu demi meraup keuntungan dari konsumen yang mengandalkan kepercayaan tersebut,” ujar Farid.
Lebih lanjut Farid menjelaskan, merujuk Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, tidak semua produk makanan atau minuman wajib memiliki sertifikat halal. Produk yang memang jelas berasal dari bahan haram—seperti babi, alkohol, atau darah—tidak diwajibkan untuk disertifikasi halal (Pasal 18 ayat 2).
Namun demikian, kata Farid, pelaku usaha yang menjual produk tersebut wajib mencantumkan keterangan “tidak halal” secara jelas pada kemasan atau tempat penjualan (Pasal 61). “Hal ini bertujuan untuk melindungi konsumen, khususnya umat Islam, agar dapat memilih produk sesuai keyakinannya dengan informasi yang transparan,” pungkasnya. (*)