Oleh: Farid Wajdi
Kisruh terkait sistem barcode berlangganan parkir yang belakangan ini terjadi di Kota Medan menjadi potret nyata dari buruknya tata kelola sistem parkir di kota ini. Masalah teknis seperti kegagalan pemindaian barcode, data pengguna yang tidak sinkron, hingga petugas yang tidak memahami sistem dengan baik bukan sekadar persoalan teknis -melainkan menunjukkan lemahnya perencanaan, sosialisasi, dan pengawasan dalam implementasi sistem parkir digital.
Alih-alih mempermudah masyarakat dan menciptakan transparansi, sistem ini justru menimbulkan keresahan dan kebingungan. Pengendara yang sudah membayar langganan justru kembali dikenai biaya, bahkan terjadi gesekan dengan juru parkir yang tidak memahami aturan atau cenderung bertindak semena-mena. Ini menandakan kegagalan integrasi antara sistem digital dan sumber daya manusia di lapangan.
Pemerintah Kota Medan seharusnya menjadikan kegaduhan ini sebagai alarm keras untuk mengevaluasi total sistem parkir yang ada. Evaluasi tersebut tidak cukup hanya secara teknis, tapi juga mencakup aspek pelayanan publik, kejelasan regulasi, serta pelatihan dan pengawasan juru parkir.
Penerapan sistem digital seperti barcode seharusnya membawa manfaat: transparansi pendapatan parkir, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan kenyamanan warga. Namun bila tidak dikelola dengan baik, justru akan menjadi sumber konflik dan antipati publik. Sudah saatnya Pemko Medan membenahi sistem parkir secara menyeluruh -dari infrastruktur, regulasi, hingga manajemen SDM, agar transformasi digital benar-benar memberi dampak positif bagi seluruh warga kota.
Jika sistem tidak efektif, tidak adil, dan sulit diawasi parkir berlangganan sebaiknya dihentikan. Namun jika ada potensi untuk diperbaiki dan dimodernisasi, maka bisa dipertahankan dengan reformasi besar-besaran, terutama dari segi teknologi dan pengawasan. Karena itu, meskipun sistem ini bertujuan untuk meningkatkan PAD dan mengurangi kebocoran retribusi parkir, implementasinya di lapangan masih jauh dari harapan. Banyak warga yang telah membayar parkir berlangganan tetap diminta membayar tunai oleh juru parkir (jukir) . Hal ini menimbulkan konflik antara masyarakat dan jukir serta menurunkan kepercayaan publik terhadap program ini.
Namun, jika masyarakat tetap diminta membayar uang parkir secara manual (tunai) kepada jukir, maka penggunaan barcode berlangganan menjadi tidak relevan atau kontradiktif, sehingga harus diubah sesuai kemampuan dan kebutuhan yang ada. Apalagi dalam banyak kasus para juru parkir liar sering mematok tarif yang tidak sesuai dengan peraturan. Hal ini merugikan masyarakat dan menciptakan ketidakpastian tarif serta menimbulkan konflik sosial.
Selain itu, perlu dipahami dengan baik kebijakan parkir berlangganan masih menghadapi sejumlah masalah hukum dan administratif yang signifikan. Secara hukum Perwal Medan Nomor 26 Tahun 2024 Tentang Parkir Berlangganan tidak memiliki dasar hukum yang kuat karena tidak didasarkan pada Peraturan Daerah (Perda). Perwal tersebut tidak mengikat karena mengatur pembatasan hak warga tanpa melalui proses legislasi yang semestinya, yaitu melalui Perda yang melibatkan DPRD dan partisipasi publik. Perwal cacat secara substansi dan prosedural karena mengandung larangan dan sanksi yang seharusnya hanya dapat diatur dalam Perda atau Undang-Undang.
Sebelumnya Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Utara juga telah merekomendasikan agar Pemko Medan mengkaji ulang kebijakan parkir berlangganan karena belum memenuhi kaidah hukum dan administrasi dalam penerbitan keputusan yang akan diterapkan secara luas ke masyarakat. (*)
Penulis adalah Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020