Oleh: Nashrul Mu’minin
Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, kita sekarang hidup di zaman yang kerap disebut dengan istilah ‘Generasi H+’. Istilah ini menggambarkan era di mana manusia tidak hanya hidup berdampingan dengan teknologi, tetapi juga mengintegrasikannya secara mendalam dalam berbagai aspek kehidupan. Mulai dari perangkat komunikasi yang semakin canggih, teknologi medis yang semakin maju, hingga kecerdasan buatan yang mampu berinteraksi dengan kita dalam bentuk yang sebelumnya tak terbayangkan.
Dalam konteks ini, kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan besar: Apakah manusia yang begitu terikat dengan teknologi ini masih bisa disebut sebagai Homo Sapiens, atau kita kini menjadi sesuatu yang lebih dari sekedar manusia?
Homo Sapiens, yang dalam bahasa Latin berarti “manusia yang bijaksana,” telah lama dikenal sebagai spesies yang mampu berpikir kritis, menggunakan alat, serta beradaptasi dengan lingkungannya. Namun, apakah manusia pada era Generasi H+ masih memenuhi ciri-ciri dasar tersebut? Teknologi, yang dalam definisinya adalah penggunaan alat dan mesin untuk mempermudah kehidupan manusia, kini telah melampaui sekedar alat bantu. Teknologi telah menjadi bagian integral dari tubuh manusia, bukan hanya sebagai sarana eksternal yang mendukung kehidupan, tetapi juga mulai masuk ke dalam tubuh dan pikiran manusia itu sendiri.
Bayangkan saja, saat ini kita telah mengenal teknologi seperti prostetik yang tidak hanya menggantikan bagian tubuh yang hilang, tetapi juga dilengkapi dengan kecerdasan buatan yang memungkinkan penggunanya untuk mengendalikan alat tersebut dengan pikiran mereka. Teknologi semacam ini membawa kita pada kemungkinan baru dalam dunia kedokteran, di mana kita tidak hanya menyembuhkan, tetapi bahkan meningkatkan kemampuan tubuh manusia. Ini adalah salah satu contoh kecil dari bagaimana teknologi telah bertransformasi menjadi bagian dari evolusi manusia itu sendiri.
Namun, meskipun teknologi membawa berbagai keuntungan, kita juga perlu mempertimbangkan dampak-dampaknya. Pertama, adakah kita sebagai Homo Sapiens masih mempertahankan nilai-nilai manusiawi kita di tengah kehadiran teknologi yang semakin mendalam dalam kehidupan kita? Manusia diciptakan dengan fitrah untuk hidup dalam harmoni dengan alam dan sesama manusia, namun dengan munculnya teknologi seperti media sosial yang terus-menerus memperbarui informasi, kita melihat bagaimana interaksi manusia menjadi lebih cenderung ke arah individualitas dan kesendirian. Alih-alih menjadi alat untuk mempererat hubungan, teknologi kadang justru menjauhkan kita dari hubungan yang lebih mendalam dengan orang lain.
Lebih jauh lagi, ada kekhawatiran akan kecanduan teknologi. Sebagai contoh, penggunaan smartphone yang berlebihan dapat mengarah pada gangguan kecemasan dan depresi. Dampak jangka panjang dari kecanduan digital ini dapat membuat kita kehilangan kemampuan untuk menjalani kehidupan sosial yang sehat. Kita semakin terjebak dalam dunia maya, seolah-olah ada jurang yang memisahkan kita dari kenyataan yang ada di sekitar kita.
Selanjutnya, di sisi lain, kita juga menghadapi tantangan moral dan etika terkait dengan kemampuan manusia untuk mengendalikan teknologi. Penciptaan kecerdasan buatan yang semakin canggih, yang bisa berpikir dan bertindak seperti manusia, membuka debat tentang apakah kita siap untuk memberikan kontrol lebih pada mesin. Bahkan, dalam beberapa bidang, teknologi telah mulai menggantikan pekerjaan manusia, memicu kekhawatiran tentang kehilangan pekerjaan yang dapat berdampak pada ekonomi global. Ini juga menimbulkan pertanyaan: apakah kita sebagai Homo Sapiens masih memiliki peran yang signifikan di dunia yang semakin dikendalikan oleh teknologi?
Penting untuk kita ingat bahwa teknologi adalah ciptaan manusia, dan sebagaimana ciptaan lainnya, ia harus digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup manusia. Namun, tanpa pengendalian dan kebijakan yang bijaksana, teknologi dapat menjadi bumerang yang berbahaya bagi umat manusia. Oleh karena itu, kita perlu mempertimbangkan nilai-nilai moral dan spiritual yang mendasari keputusan kita dalam menggunakan teknologi. Manusia seharusnya tetap menjadi penguasa teknologi, bukan malah menjadi budak teknologi itu sendiri.
Sebagai umat Muslim, kita diajarkan untuk selalu mengingat bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki batasan dan tujuan. Sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an:
*”وَقُل رَّبُّ زِدْنِي عِلْمًا”* (QS: Taha: 114)
“Dan katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.'” Ayat ini mengingatkan kita bahwa ilmu pengetahuan, dalam hal ini termasuk teknologi, harus selalu diiringi dengan kebijaksanaan. Ilmu pengetahuan yang kita miliki, baik itu dalam bentuk teknologi atau lainnya, harus digunakan untuk kebaikan dan tidak boleh digunakan untuk merusak tatanan kehidupan yang telah ditetapkan oleh Allah.
Di sisi lain, Al-Qur’an juga mengajarkan kita untuk tidak terlalu terjebak dalam kehidupan dunia yang penuh dengan kesenangan semu. Dalam surah Al-Hadid, Allah berfirman:
*”مَا عِندَكُمْ يَنفَدُ وَمَا عِندَ اللَّهِ بَاقٍ”* (QS: Al-Hadid: 20)
“Apa yang ada di sisimu akan habis, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.”
Ayat ini mengingatkan kita bahwa dunia ini bersifat sementara. Kecanggihan teknologi, meskipun bermanfaat, tetaplah sementara dan harus digunakan dengan bijak agar tidak melupakan tujuan akhir kita sebagai hamba Allah.
Oleh karena itu, meskipun kita kini berada di tengah-tengah revolusi teknologi yang mengubah banyak aspek kehidupan, kita tetap harus menjaga esensi kita sebagai manusia. Teknologi, meskipun memiliki potensi besar untuk memajukan peradaban, tidak boleh sampai mengubah kita dari Homo Sapiens menjadi Homo Technologicus yang kehilangan makna kemanusiaan sejati. Teknologi harus menjadi alat untuk mendekatkan kita pada tujuan hidup yang lebih mulia, yakni beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia.
Dalam akhirnya, pertanyaan apakah manusia yang terhubung begitu erat dengan teknologi masih dapat disebut sebagai Homo Sapiens adalah sebuah refleksi tentang siapa kita sebenarnya dan kemana arah kita menuju. Sebagai umat manusia, kita harus selalu ingat bahwa teknologi bukanlah tujuan akhir, melainkan alat yang dapat membantu kita mencapai tujuan hidup yang lebih tinggi. Dalam menjalani kehidupan ini, kita harus tetap menjaga keseimbangan antara memanfaatkan teknologi dan mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan dalam agama kita. (*)
Penulis adalah Content Writer Yogyakarta