TAJDID.ID~Jakarta || GreenFaith Indonesia, bersama dengan Muslims for Shared Action on Climate Impact (MOSAIC) dan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Tinjauan Syariah terhadap Tasharruf Zakat, Infak dan Sedekah pada Isu Energi”. Kegiatan ini digelar sebagai bagian dari upaya memperkuat peran dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS) dalam mendukung transisi energi yang adil dan berkelanjutan di Indonesia.
Bertempat di Jakarta, FGD ini mempertemukan berbagai pihak dari ormas keagamaan, lembaga pengelola zakat, institusi pemerintah, hingga lembaga riset energi. Berbagai pihak tersebut membahas pemanfaatan dana ZIS dalam isu strategis perubahan iklim dan transisi energi, yang selama ini belum banyak disentuh dari sudut pandang syariah.
Menurut Direktur GreenFaith Indonesia, Hening Parlan, FGD ini merupakan bagian dari ikhtiar masyarakat sipil untuk membawa nilai-nilai agama ke dalam solusi-solusi konkret atas krisis iklim.
“Transisi energi bukan semata isu teknis, tetapi menyangkut nilai. Energi yang bersih seperti matahari dan angin, dalam pandangan kami, adalah energi surga.
Komunitas beragama memiliki kekuatan spiritual dan sosial untuk mendorong peralihan ini secara kolektif,” ujar Hening.
Ketua MOSAIC, Nur Hasan Murtiaji, menambahkan pentingnya merumuskan panduan tasharruf ZIS yang kontekstual dan aplikatif. “Potensi zakat nasional mencapai Rp327 triliun. Namun, bagaimana dana sebesar itu bisa digunakan untuk mendukung energi bersih perlu dirumuskan secara syar’i dan legal. Interaksi yang terbangun melalui FGD ini penting untuk menjawab pertanyaan tersebut secara kolaboratif,” ungkapnya.
Dalam pengantarnya, Ustadz Niki Alma dari Majelis Tarjih menegaskan bahwa penggunaan dana ZIS untuk keperluan di luar kebutuhan fakir miskin masih menjadi perdebatan. “Selama ini, banyak yang berpandangan dana ZIS hanya bisa untuk fakir miskin. Namun, transisi energi yang berdampak pada hifzhul bi’ah (perlindungan lingkungan) adalah bagian dari maqashid syariah yang layak dipertimbangkan,” katanya.
Senada dengan itu, Ustadz Qaem Aulassyahied yang turut menyusun panduan tasharruf ZIS menegaskan perlunya konsensus bersama lintas lembaga. “FGD ini menjadi forum penting untuk menyempurnakan panduan pengelolaan ZIS dalam mendukung agenda energi berkeadilan,” ujar Qaem.
Diskusi juga melibatkan masukan dari Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI Pusat, yang diwakili Ustaz Faisal Farouq. Ia menyarankan agar panduan ini dapat pula diusulkan ke Komisi Fatwa MUI guna memperluas spektrum penggunaannya. “Bila ditambah dengan aspek wakaf, yang bisa dikelola jangka panjang dan tidak terbatas hanya untuk umat Islam, maka potensi dampaknya akan jauh lebih besar,” kata Faisal.
Dari Dewan Tafkir Persatuan Islam (Persis), Ustaz Rahmat menekankan kekuatan wakaf sebagai instrumen pendanaan berkelanjutan. “Kami telah melakukan kajian ekoteologi yang berbasis kearifan lokal. Potensi wakaf tunai sangat besar, bahkan dalam satu kegiatan bisa terkumpul Rp11 miliar. Ini menunjukkan animo publik sangat kuat jika disalurkan untuk program yang memberi manfaat nyata,” paparnya.
FGD ini turut dihadiri oleh LazisMU, BAZNAS, Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, Islamic Relief, Human Initiative, PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, LazisNU PBNU, serta Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM.
Berbagai lembaga yang hadir berbagi bahwa masing-masing organisasi telah memiliki program yang beririsan dengan isu lingkungan, walau dalam porsi yang masih kecil, seperti LazisMU yang mencatat hanya menyalurkan 11% dari total penyaluran dana program untuk lingkungan di tahun 2022.
Menanggapi pendanaan transisi energi melalui filantropi Islam, Dedy Ibmar, akademisi dari Universitas Islam Negeri Jakarta menyampaikan bahwa transisi energi masih menjadi isu yang paling minim diperhatikan dari sekian banyak isu lingkungan, misalnya seperti isu sampah. “Hal ini karena membutuhkan biaya lebih untuk mewujudkan transisi energi dibanding isu lingkungan yang lain. Sehingga inisiatif transisi energi menjadi yang paling cocok sebagai tujuan pengumpulan pendanaan dana ZIS, ini yang paling butuh perhatian lebih,” jelasnya.
Dari kegiatan ini, diharapkan lahir dokumen bersama dan langkah konkret yang menghubungkan nilai-nilai Islam dengan agenda transisi energi nasional. Kolaborasi lintas sektor diyakini akan membangun ekosistem pemikiran dan aksi yang kuat dalam mewujudkan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan.
——–
Tentang MOSAIC Indonesia
MOSAIC adalah singkatan dari Muslims for Shared Action on Climate Impact atau Kolaborasi Umat Muslim untuk Dampak Perubahan Iklim. Pembentukan MOSAIC Indonesia merupakan salah satu tindak lanjut dari Kongres Umat Islam untuk Indonesia Lestari sebagai sebuah wadah komunikasi dan aksi bersama antara berbagai kelompok masyarakat.
MOSAIC adalah gerakan kolaboratif yang terdiri dari berbagai kegiatan yang bertujuan untuk memobilisasi umat Indonesia untuk memajukan dekarbonisasi dan keberlanjutan di Indonesia. Dipandu oleh ajaran Islam, gerakan ini melibatkan para pemimpin Islam dan memobilisasi pemuda Muslim untuk bergerak mendukung solusi iklim. Berbagai inisiatif MOSAIC bertujuan untuk menyoroti titik temu antara Islam dan iklim serta memberdayakan umat untuk mendorong aksi iklim di Indonesia.
Tentang Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Majelis Tarjih dan Tajdid merupakan lembaga ijtihad jama’i (organisatoris) di lingkungan Muhammadiyah yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang memiliki kompetisi ushuliyyah dan ilmiah dalam bidangnya masing-masing. Aktivitas intelektual yang menjadi domain tugas Majelis Tarjih dilakukan dengan mengikuti seperangkat panduan manhaj tarjih.
Tiga tugas pokok Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, yaitu: pertama, melakukan pengkajian ajaran agama Islam untuk menjadi pedoman baik warga Persyarikatan Muhammadiyah maupun umat Islam. Dalam hal ini Majelis Tarjih telah menyusun sejumlah tuntunan seperti Fikih Air, Fikih Tata Kelola, Fikih Kebencanaan, dan lain-lain. Kedua, melakukan pengkaderan ulama. Ketiga, memberikan fatwa merupakan jembatan antara cita ideal syariah di satu pihak dan realitas kongkret masyarakat di pihak lain.
Tentang GreenFaith Indonesia
Greenfaith Indonesia (GFI) adalah bagian dari GreenFaith, sebuah organisasi lintas agama internasional yang bekerja untuk keadilan iklim di akar rumput, memiliki staf di 13 negara di Afrika, Asia, Eropa dan Amerika.
Didirikan pada tahun 1992, GreenFaith bekerja dengan misi untuk membangun gerakan lingkungan dan iklim lintas agama di seluruh dunia dan visi untuk membangun komunitas ekonomi yang tangguh dan peduli yang memenuhi kebutuhan semua orang dan melindungi planet ini.
Didirikan pada tahun 2022, GF Indonesia berfokus pada kampanye dan pengembangan kapasitas organisasi lintas agama dan anggota jaringan mereka dalam konteks keadilan energi dan iklim. GFI bergerak melalui pendidikan dan kampanye tentang ajaran multi-agama yang berkaitan dengan lingkungan hidup. GFI mengapresiasi kegiatan keagamaan di Indonesia yang aktif dalam aksi perubahan iklim. GF secara aktif mengkampanyekan dan memberikan pelatihan terkait keadilan iklim dan membangun jaringan komunitas multi agama untuk perubahan iklim melalui ajaran agama. (*)
🪶 Suko & Farah