Konsep Cukai Dalam Pengendalian Konsumsi
Cukai, menurut Undang-Undang Republik Indonesia, diatur dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007. Cukai didefinisikan sebagai iuran wajib yang terutang kepada negara oleh orang pribadi atau badan sebagai wajib pajak, yang dipungut berdasarkan undang-undang, tanpa timbal balik secara langsung, dan bersifat wajib.
Cukai memiliki beberapa ciri utama yang membedakannya dari jenis pajak lainnya.
Pertama, cukai merupakan iuran wajib yang menjadi kewajiban warga negara atau badan usaha untuk dibayarkan kepada negara, tanpa adanya imbalan langsung kepada pembayar.
Kedua, cukai dikenakan pada barang-barang tertentu yang dianggap memiliki dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan, seperti rokok, minuman beralkohol, dan produk dengan kandungan gula tinggi.
Ketiga, pengenaan cukai diatur melalui undang-undang, sehingga harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Keempat, cukai berfungsi sebagai alat untuk mengendalikan konsumsi barang-barang tersebut, serta sebagai sumber pendapatan bagi negara yang digunakan untuk mendanai program-program publik.
Tujuan pengenaan cukai mencakup beberapa aspek penting dalam kebijakan publik. Cukai bertujuan untuk mengendalikan konsumsi barang-barang tertentu yang dianggap merugikan, seperti rokok, minuman beralkohol, dan produk yang mengandung gula tinggi, dengan harapan dapat mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Cukai dapat berfungsi sebagai sumber pendapatan bagi negara, yang dapat digunakan untuk mendanai berbagai program dan layanan publik, termasuk kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Pengenaan cukai juga bertujuan untuk mendorong produsen untuk mengurangi kadar zat berbahaya dalam produk mereka, sehingga menciptakan alternatif yang lebih sehat bagi konsumen.
Selain itu, cukai dapat berfungsi sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang risiko kesehatan yang terkait dengan konsumsi barang tertentu, sehingga mendorong perilaku hidup sehat. Cukai tidak hanya berfungsi sebagai alat fiskal, tetapi juga sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan sosial dan kesehatan yang lebih komprehensif.
Pengenaan cukai atas minuman berpemanis dapat dilihat sebagai intervensi ekonomi. Dari perspektif ekonomi, pengenaan cukai bertujuan untuk menginternalisasi eksternalitas negatif yang ditimbulkan oleh konsumsi berlebihan. Aspek sosial dan budaya turut berperan penting dalam keberhasilan kebijakan ini.
Tidak hanya diimplementasikan, kebijakan cukai harus disertai dengan kampanye edukasi yang menjelaskan manfaat pengurangan konsumsi minuman berpemanis. Selanjutnya, Evaluasi dan pemantauan yang berkelanjutan terhadap dampak kebijakan cukai juga sangat krusial. Tanpa adanya evaluasi yang tepat, efektivitas kebijakan dapat menurun seiring berjalannya waktu.
Implementasi Cukai Minuman Berpemanis Di ASIA Tenggara
Di kawasan Asia Tenggara, saat ini terdapat tujuh negara yang memberlakukan cukai MBDK. Kamboja dan Laos adalah yang pertama memperkenalkan cukai MBDK pada tahun 1997 dan 2005. Brunei, Thailand, Filipina, dan Malaysia memperkenalkan cukai MBDK antara tahun 2017 dan 2019. Timor-Leste baru-baru ini memperkenalkan cukai MBDK pada tahun 2023.
Sistem tarif cukai MBDK di Asia Tenggara dapat dikelompokkan menjadi dua: tarif ad-valorem (Kamboja, Laos), dan tarif spesifik (Brunei, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Timor-Leste). Kamboja mengikuti struktur ad-valorem dengan tarif yang seragam, sementara Laos juga menggunakan struktur ad-valorem dengan tarif berjenjang berdasarkan jenis minuman.
Bersambung ke Halaman 4