Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Kamis siang seseorang dari TV di Jakarta meminta tanggapan atas satu berita ini yang diterbitkan Bangka Pos dengan judul “Hasil Survei Elektabilitas Pilkada Sumut 2024, Bobby vs Edy, Menantu Jokowi Masih Mendominasi”
Setelah membaca berita itu dan menganalisisnya secara lebih mendalam, maka saya simpulkan:
Pertama, Sampling yang Terbatas.
Survei yang dilakukan dengan hanya 800 responden dapat dianggap tidak representatif, terutama mengingat populasi pemilih di Sumut yang jauh lebih besar. Metode pengambilan sampel yang terbatas ini dapat menyebabkan bias, karena tidak semua segmen masyarakat terwakili secara proporsional.
Kedua, Metode Pengumpulan Data.
Pengumpulan data melalui telepon, khususnya dengan menggunakan nomor handphone Telkomsel, berpotensi mengabaikan kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses atau preferensi terhadap teknologi. Hal ini dapat menyebabkan eksklusi terhadap suara-suara penting dari kalangan yang lebih tua atau masyarakat di daerah terpencil.
Ketiga, Margin of Error.
Dengan margin of error sekitar 3,5 persen, hasil survei dapat memberikan gambaran yang kurang akurat tentang preferensi pemilih.
Ketidakpastian ini dapat memperbesar misinterpretasi terhadap elektabilitas masing-masing calon, terutama jika hasilnya sangat mendekati satu sama lain.
Keempat, Kondisi Respons.
Persentase responden yang tidak tahu atau tidak menjawab mencapai 44,9 persen dalam survei Katadata.
Tingginya angka ini menunjukkan ketidakpastian atau ketidakpedulian di kalangan pemilih, yang bisa jadi mencerminkan kurangnya informasi yang memadai tentang calon atau isu-isu yang ada.
Kelima, Efek ‘Jokowi’.
Pengaruh besar Presiden Joko Widodo yang disebut sebagai ‘Jokowi Effect’ dapat menciptakan bias dalam hasil survei. Responden mungkin memilih calon yang dianggap dekat dengan Jokowi bukan karena preferensi terhadap calon itu sendiri, melainkan karena citra Presiden.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana hasil survei mencerminkan preferensi independen pemilih.
Lagi pula kecenderungan ketergerusan pengaruh Jokowi bukan sesuatu yang harus disembunyikan oleh siapa pun saat ini dan akan terus menurun apalagi setelah 20 Oktober.
Keenam,Simulasi yang Beragam.
Berbagai simulasi yang dilakukan (top of mind, semi terbuka, dll.) dapat menyebabkan kebingungan di antara responden. Variabel yang tidak konsisten ini dapat menyulitkan analisis yang jelas tentang siapa yang sebenarnya lebih unggul dalam elektabilitas.
Ketujuh, Keterbatasan Waktu Survei.
Waktu survei yang dilakukan dalam rentang tertentu (misalnya, 4-9 September untuk Katadata) dapat menciptakan bias temporal.
Dinamika politik dapat berubah dengan cepat menjelang pemilihan, sehingga hasil survei mungkin tidak mencerminkan situasi saat pemungutan suara.
Kedelapan, Pembiayaan. Sudah saatnya setiap penyedia data survey secara terbuka memberi tahu publik darimana asal pembiayaan mereka. Itu jumlah yang besar.
Simpulan.
Meskipun survei elektabilitas dapat memberikan wawasan awal mengenai preferensi pemilih, berbagai kelemahan dalam metode pengumpulan data dan analisis dapat menimbulkan kesimpulan yang kurang akurat.
Oleh karena itu, penting untuk menginterpretasikan hasil survei dengan hati-hati dan mempertimbangkan konteks yang lebih luas dalam analisis pemilihan mendatang. (*)
✒️ Shohibul Anshor Siregar. Dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS). Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PW Muhammadiyah Sumatera Utara. Sekretaris Yayasan Advokasi Hak Konsstitusional Indonesia (YAKIN).