Talkshow ini menghadirkan tiga aktivis perempuan yang berkiprah dalam pendampingan masyarakat, yaitu Dewi Candraningrum, Thoatillah Jafar, dan Martdiana, serta Yuniyanti Chuzaifah sebagai moderator. Ketiganya membagikan pengetahuan dan pengalamannya dalam melibatkan anak muda dan perempuan di komunitasnya untuk membangun perdamaian dengan pendekatan isu lingkungan.
Dewi Candraningrum membagikan hasil kajiannya bahwa kerja-kerja domestic care cukup berhasil dilakukan oleh kelompok perempuan di berbagai daerah sebagai bentuk aksi protes mereka terhadap kerusakan lingkungan, seperti menenun, menjahit, memasak, hingga membuat dapur umum. Aksi-aksi tersebut mampu mengusir korporasi besar yang menjarah sumberdaya alam mereka.
“Saya setuju mengenai gerakan lintas iman untuk bumi dan menjadikan kerusakan lingkungan sebagai common enemy, namun usulan strategisnya, gerakan ekologis harus politis, sehingga bisa mengajak kerjasama banyak pihak,” ungkap perempuan yang kini juga aktif sebagai dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta.
“Perempuan perlu ada di meja keputusan di mana pun di dalam kebijakan iklim. Baik sektor energi, teologis, karena ketika tafsirnya ada dan mencukupi, serta adil untuk bumi, para da’iyah atau pemimpin agama perempuan bisa kuat dalam menyuarakan kelestarian alam,” lanjutnya.
Selain itu, menurut Dewi, aktor lintas iman perlu mendukung kepemimpinan perempuan, mendukung kesehatan reproduksi perempuan, mendudukkan perempuan di meja-meja keputusan, hingga mendanai organisasi perempuan.
Sedangkan Bu Nyai, sapaan akrab Thoatillah Jafar, Pengasuh Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, membagikan pentingnya ulama perempuan terlibat aktif melakukan pendidikan dalam rangka penyadaran, serta meningkatkan metode dakwah yang santun, ramah, dan penuh kasih sayang.
“Kita semua sesama manusia memiliki hak dan kewajiban untuk saling menolong, membantu, dan mengingatkan dalam kebaikan,” katanya. Sebagai khalifah, lanjut Bu Nyai, manusia memiliki tanggung jawab penuh untuk melestarikan bumi dan isinya agar lestari, berkeadilan, dan tidak terjadi kerusakan.
Sebagai upaya melawan krisis iklim, Ia juga membagikan cerita program pesantren EMAS (Ekosistem Madani Atasi Sampah) di pesantren yang diasuhnya. “Di sini kami ajarkan kepada para santri untuk bahwa sampah atau barang-barang yang kemudian kita tidak pakai, masih bisa kita pilah, dan diolah untuk bisa kita manfaatkan kembali,” terangnya. “Ke depan kita perlu terus melakukan upaya penguatan kelembagaan perempuan untuk keadilan iklim, dan menciptakan kolaborasi yang lebih luas dengan lintas iman,” ucap Bu Nyai.
Adapun Martdiana, aktivis perempuan asal Poso yang memiliki pengalaman kelam dan terdampak konflik bernuansa agama di Poso 1998, membagikan pengalamannya dalam mendampingi kegiatan pertukaran pemuda lintas iman, di mana di kegiatan tersebut, pemuda Nasrani berkesempatan melakukan kegiatan dan tinggal selama dua malam di sebuah desa dengan penduduk mayoritas Muslim, begitu pula sebaliknya. Ia juga menceritakan bagaimana kisah perempuan penjual ikan melakukan rekonsiliasi dengan cara menjajakan ikan-ikannya ke desa yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani.
“Ruang perjumpaan yang terjadi antar individu dengan latar belakang agama yang berbeda ini, memberi mereka kesempatan untuk berdialog, berbagi kisah, dan menghilangkan prasangka antar satu dengan yang lain,” ungkapnya yang kini aktif sebagai fasilitator Sekolah Pembaharu Desa, Institute Mosintuwu Poso.
“Kini kami fokus mengembangkan upaya pengelolaan sampah yang bisa mempunyai nilai ekonomis di desa, dengan melibatkan anak-anak muda dan ibu-ibu dari lintas iman, seperti membuat kerajinan tas, ecobrick, dan sebagainya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Yuniyanti Chuzaifah, mantan Ketua Komnas Perempuan yang berperan sebagai moderator menambahkan bahwa hak asasi manusia adalah inti untuk menghubungkan upaya perlindungan terhadap alam. “Isu lingkungan adalah isu global, jadi dibutuhkan respon solidaritas global, termasuk lintas iman, dari antar agama, keyakinan, ataupun penghayat,” kata Yuni.
Isu pengelolaan sampah maupun isu serupa lainnya, menurut perempuan yang kini aktif melakukan pendampingan di isu-isu perempuan dan perdamaian ini, sebaiknya bukan hanya kegiatan, melainkan sebagai strategi dan jembatan menyeberangkan perdamaian manusia dan semesta, serta tidak mendiskriminasi kelompok tertentu. ”Dengan mendukung organisasi perempuan melalui pendanaan, itu merupakan bentuk konkrit kita untuk memastikan ruang gerakan ekologi untuk terus berlanjut,” tutupnya. (*)
Kontributor: Dzikrina Farah Adiba