Oleh: M. Risfan Sihaloho
Ketika pertama kali gelombang reformasi bergulir tahun 1998 silam, banyak kalangan yang optimis momentum perubahan eratik itu akan menjadi babak baru kebangkitan kehidupan demokrasi di negeri ini.
Namun ironisnya, hingga kini, setelah reformasi itu berjalan lebih dari dua dekade, sepertinya optimisme itu tidak kunjung terwujud. Justru bangsa ini terjebak dalam labirin transisi demokrasi yang berkepanjangan dan tak berkesudahan. Malah kehidupan demokrasi kita cenderung terjerumus dalam hyper-democracy, demokrasi tanpa kendali.
Dalam suasana belitan transisi demokrasi yang distortif itu, bangsa ini seakan mengalami disorientasi dalam menentukan arah dinamika kehidupan demokrasinya. Hal ini ditandai dengan fenomena turbelensi politik yang marak terjadi dalam konstelasi dunia politik harian kita.
Turbelensi politik adalah keadaan silang-menyilangnya berbagai kekuatan politik yang satu sama lain saling tarik-menarik dengan sangat kuat dan sengit dalam rangka mendapatkan, mempertahankan atau menggoyahkan kekuasaan, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan kebuntuan politik.
Sebagai eksesnya, massa (rakyat) juga mengalami turbelensi. Rakyat ditarik kesana-kemari oleh berbagai kekuatan vested interst yang berpengaruh untuk kepentingan politik dan kekuasaan jangka pendek, kepentingan penciptaan opini publik, atau kepentingan menjatuhkan kredibilitas.
Itulah potret banalitas kehidupan demokrasi kita yang sangat membosankan dan menjengahkan di sepanjang era reformasi hingga hari ini. Dan tragisnya, kita belum tahu sampai kapan kondisi monoton ini akan terus berlangsung dan menghantui ruang kehidupan demokrasi di republik ini.

Dominasi Politik Ruang
Bila dicermati, salah satu penyebab bangsa ini terus terbelit dalam labirin transisi demokrasi adalah karena kecenderungan orientasi budaya politik harian kita yang keliru dan salah kaprah.
Secara umum, orientasi budaya politik kita nyatanya cenderung lebih menggandrungi “politik ruang”, dimana hiruk pikuk kehidupan politik kita hanya berkutat pada persoalan berebut lapak, zona, terotarial dan kursi kekuasaan semata.
Terkait hal ini, menarik sekali apa yang ditulis Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial (2003). Dia mengatakan, bahwa sejauh ini seluruh energi dan perhatian bangsa ini seakan-akan terkuaras habis untuk sebuah politik ruang atau politik wilayah (geo-politics), berupa klaim-klaim baru atas wilayah, daerah, atau teritorial (provinsi, kabupaten dan kecamatan) dengan segala kekayaan sumber daya di dalamnya (alam, manusi dan budaya).
Selain itu, lanjut Yasraf, apa yang sesungguhnya juga tengah terjadi di atas tubuh bangsa ini adalah politik segmentasi (politic of segmentary) tanpa akhir, berupa kegandrungan untuk mengklaim dan mengkapling teritorial menjadi segmen-segmen provinsi, kabupaten dan kecamatan, baik yang didorong oleh politik, ekonomi maupun kultural.
Pada hal, secara empiris kita melihat hasil dari tradisi geopolitik hanya menghasilkan segmentasi murni, yang setelah klaim otonomi diperoleh sesungguhnya tidak ada yang berubah kecuali peralihan kekuasaan semata. Bahkan yang terjadi justru adalah semacam duplikasi model geopolitik pusat yang dulunya di daerah di tolak.
Glamor politik ruang juga marak terjadi di atas pentas politik praktis kita belakangan ini, dimana pelbagai kekuatan kepentingan politik dengan sengitnya bertarung memperebutkan ruang-ruang kekuasan yang ada di zona eksekutif maupun legislatif.
Begitu juga dengan perilaku yang ditunjukkan oleh rezim penguasa, mereka sepertinya juga masih lebih mementingkan kebijakan politik ruang ketimbang politik waktu. Diantaranya yang teranyar dapat kita lihat bagaiman ngototnya pemerintah mengagendakan pemindahan ibu kota baru di tengah situasi dan kondisi ekonomi bangsa yang masih begitu sulit.
Urgensi Politik Waktu
Akibat terkurasnya energi bangsa ini untuk geopolitik, Yasraf mengatakan tidak tersisa lagi energi utuk proses perubahan, reformasi ataupun transformasi dalam bentuk politik waktu (cronopolitics).
Menurutnya, dalam konteks kenegaraan politik waktu itu identik dengan politik perubahan; yakni berkenaan dengan persaingan ekonomi, pergerakan modal, perlombaan politik, dinamika sosial, perubahan budaya, fluktuasi moneter, persaingan produk, percepatan produksi, perpacuan konsumsi, manajemen waktu, perlombaan kemajuan dan sebagainya.
Kemudian, mengutip Paul Virilio di dalam Lost Dimension (1991), Yasraf menegaskan, bahwa di dalam dunia yang dikuasai kecepatan, sebenarnya peran geo-politics telah diambil alih oleh cronopolitics, yang di dalamnya kecepatan, percepatan dan tempo kehidupan yang semakin cepat mengharuskan setiap orang (juga sebuah negara bangsa) untuk hidup dan bertahan hidup di dalam sebuah mesin dunia (dromology machine) yang berlari kencang.
Dan konsekuensinya, di dalam dunia yang berlari itu waktu dan kecepatan menjadi energi utama untuk menggerakkan mesin kemajuan atau perubahan. Artinya, siapa yang menguasai waktu, ia akan menguasai dunia.
Yasraf mengambil contoh, misalnya negara mini Singapura yang sangat kecil secara geopolitik dapat menjadi sebuah raksasa ekonomi disebabkan kemampuannya mengembangkan cronopolitics yang ampuh lewat manajemen perubahan dan kemajuan yang terorganisir.
Sebaliknya, siapa pun yang tidak mampu mengendalikan waktu dan mengembangkan politik perubahan akan menjadi korban dari dunia yang berlari kencang. Ketidakmampuan untuk hidup dalam bahasa-bahasa perubahan, pergerakan, peralihan, kemajuan, transformasi, mutasi yang didukung mentalitas, gaya hidup, etos kerja, tingkah laku, cara berpikir, dan cara bertindak yang serba cepat akan menyebabkan mereka terlindas oleh deru mesin waktu globalisasi.
Penutup
Dari uraian di atas, jika ingin terlepas dari kutukan transisi demokrasi berkepanjangan, maka mestinya tidak ada pilihan bangsa ini harus segera mengubah oriaentasi kultur demokrasinya.
Harus disadari, tradisi politik ruang memang telah membuat bangsa ini jadi naif dan mengabaikan visi demokratisasi sesungguhnya, serta abai terhadap tujuan utama berdemokrasi, yakni untuk menciptakan kemaslahatan umum (bonum commine) dan kesejahteraan bangsa.
Oleh karenanya, sudah saatnya tradisi politik ruang kita tinggalkan untuk kemudian beralih ke tradisi politik waktu yang tentunya lebih bernilai stragis dan transformatif bagi perubahan serta kemajuan bangsa Indonesia ke depan. (*)
Penulis adalah Pemred TAJDID.ID