Oleh: Muhammad Fu’ad Muhtadi
Jendral Soedirman yang kita kenal sebgai jendral besar ternyata adalah seorang santri. Ia lahir dari keluarga petani kecil, di desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, pada tanggal 24 Januari 1916.
Ayahnya merupakan seorang mandor tebu pada pabrik gula di Purwokerto. Sejak bayi Soedirman diangkat anak oleh asisten wedana (camat) di Rembang, R. Tjokrosunaryo.
Ia memperoleh pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi.
Kemudian ke HIK (sekolah guru) Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat. Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di organisasi Pramuka Hizbul Wathan ini kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di Cilacap.
Sebagai kader Muhammdiyah, ia dikenal sebagai santri atau jamaah yang cukup aktif dalam pengajian “malam selasa”, yakni pengajian yang diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah di Kauman berdekatan dengan Masjid Besar Yogyakarta. Ketekunannya dalam memelajari agama Islam dikenal banyak orang, terutama oleh teman-temannya. Hal itulah yang membuat dirinya dijuluki “Haji” oleh orang-orang di sekitarnya.
Pada diri Soedirman setidaknya ada tiga citra: Pertama, sebagai aktivis Muhammadiyah. Kedua, sebagai tokoh Islam. Ketiga, sebagai tokoh militer. Atas ketiga citra yang melekat pada dirinya itu, boleh kiranya jika kita sebut Soedirman itu sebagai “Jenderal Alim”, “Panglima Santri”, atau “Pemimpin Shalih”.
Semasa sekolah, Soedirman aktif di kegiatan Muhammadiyah dan kepanduan. Awal, dia menjadi anggota Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Kemudian menjadi anggota kepanduan Hizbul Wathan (HW) Muhammadiyah.
Bakat dan jiwa kepejuangan Soedirman terlihat sejak dari kepanduan HW. Juga, peningkatan kemampuan fisik dan penggemblengan mental kemiliterannya ditempa melalui organisasi berbasis dakwah ini. Di HW, Soedirman tak hanya sebagai anggota tapi kemudian menjadi ketua.
Di kalangan HW, pengaruh Soedirman sangat besar sehingga dia diangkat sebagai pimpinan. Meski pendiam, dia tegas. Dia selalu berpegang kepada kebenaran. Dia dapat mengayomi kawan-kawannya.
Di HW, di samping memberikan latihan teknik kepanduan seperti pada umumnya, Soedirman juga memberikan pelajaran agama Islam kepada anggotanya.
Dalam pergerakan menegakkan kemerdekaan, diniatkan oleh Soedirman bahwa hal itu sebagai bagian dari pelaksanaan jihad fi-sabilillah. Dia tanamkan kepada para anak-buahnya, bahwa jika mereka gugur dalam perang maka itu tidaklah mati sia-sia melainkan gugur sebagai syuhada.
Soedirman berusaha meneladani seluruh kehidupan Rasulullah SAW. Terasakan oleh lingkungannya, bahwa dia sebagai pribadi terlihat sederhana, suka kebersihan, memelihara kebersamaan, dan punya siasat tangguh dalam melawan musuh.
Bangsa Indonesia beruntung dan harus bersyukur pernah memiliki putra terbaik. Soedirman adalah Bapak Tentara Indonesia yang shalih. Dia salah satu tokoh besar.
Soedirman wafat pada 29 Januari 1950 di Magelang. Umurnya relatif pendek, hanya 34 tahun. Tapi, jasa-jasanya kepada agama dan bangsa sungguh sangat panjang.
Untuk itu, pertama, atas jasa-jasanya maka sangat pantas jika pada 1997 pemerintah Indonesia menganugerahinya gelar Jenderal Besar.
Kedua, atas jasa-jasanya, nama Soedirman lalu diabadikan sebagai nama sebuah perguruan tinggi negeri di Purwokerto.
Ketiga, atas jasa-jasanya maka patut jika nama Soedirman kemudian diabadikan menjadi nama ruas-ruas jalan utama di hampir seluruh kota di Indonesia. (*)