Kondisi umat Islam di masa kehidupan Muhammad Abduh yaitu akhir abad 18 dan awal abad 19 M adalah bagian dari rentetan kemunduran umat Islam. Pada masa inilah umat Islam mengalami kemandekan pemikiran, dan situasinya berbanding terbalik dengan bangsa eropa yang maju karena tersentuh oleh renaissance.
Pada masa itu, Mesir terbagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah mereka yang berpikiran konservatif yang terwakili oleh para pembesar ulama Al Azhar. Yang sangat menolak segala bentuk perubahan. Pandangan mereka hanya mengacu pada kejayaan Islam masa klasik, yang acuannya selalu berbalik ke sebuah zaman klasik. Dengan menilai masa itu, dengan semangat kultuisme atau fanatik tanpa boleh disentuh oleh pembaharuan-pembaharuan.
Kedua adalah kelompok pembaharu atau kelompok terpelajar dari Barat yang mulai mengenal seperangkat metode modern. Mereka meyakini bahwa melihat sejarah keemasan Islam dengan semangat pengkultusan adalah usaha bodoh yang hanya memasung kebebasan berpikir. Dalam pandangan kelompok kedua ini, cara pandang kelompok pertama mustahil akan mencapai kemajuan.
Kondisi keterpilahan umat Islam pada masa ini secara cerdas hendak didamaikan oleh Muhammad Abduh. Ia menempatkan diri layaknya tali penyambung antara dua kubu yang berbeda sudut pandang itu. Sedikit demi sedikit, ia membuka kayu pemasung yang mengkungkung pemikiran kaum konservatif dan di waktu yang sama, ia pun tetap tidak mau bertindak gegabah agar kemajuan Islam tak secara absolut meniru kemajuan Barat.
Mulai dari sini, langkah pembaharuan Muhammad Abduh dimulai. Beliau tidak hanya merombak hal-hal pragmatis, namun lebih dalam lagi, cara keberagamaan (fiqh) dan keyakinan (tauhid) mendapatkan suntikan pemikiran-pemikirannya. Ide pembaharuan ini tak hanya terjadi di Mesir saja yang diwakili oleh Muhammad Abduh.
Di Saudi misalnya, ide pembaharuan mulai digalakkan oleh seorang pengikut Ibnu Taimiyah, Muhammad ibn Abdul Wahab (1703-1787 M) yang merupakan cikal bakal tumbuh kembangnya paham Wahabi. Namun bedanya, pembaharuan yang dibawa Muhammad ibn Abdul Wahab berkutat pada pembersihan dan pemurnian ajaran-ajaran Islam dari khurafat dan bid’ah, serta sikap skeptisismenya dalam menerima kemajuan bangsa Eropa.
Sedangkan Muhammad Abduh lebih jauh dari itu, karena tantangan di Mesir adalah bagaimana umat Islam bisa bersatu mengusir kolonialisme Inggris bersama-sama dari tanah air mereka. Dan membangkitkan spirit kemajuan dengan prinsip mengambil apa yang patut dari Barat, dan menampik apa yang tidak selaras dengan konsep Islam.
Muhammad Abduh melancarkan pemikiran-pemikiran pembaharuannya sudah sejak dibangku kuliah, yaitu melalui artikel-artikel pembaharuannya di surat kabar Al-Ahram, Kairo. Melalui media inilah, gema tulisan tersebut sampai ke telinga para pengajar Al-Azhar dan menimbulkan berbagai kontroversi.