TAJDID.ID || Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan, di usia ke-77 tahun, Indonesia memiliki sekian pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan. Menurutnya hal ini perlu segera dibereskan jika Indonesia ingin menjadi negara unggul.
Masalah pertama adalah daya saing sumber daya manusia. Di kawasan ASEAN saja, kata Haedar, Human Development Indonesia berada di bawah enam negara ASEAN. Sementara di tingkat global, kecerdasan intelektual bangsa Indonesia menempati posisi 113 dunia, tidak jauh dari Timor Leste dan Papua Nugini.
“Ini terjadi karena problem kemiskinan, kesehatan dan faktor lingkungan. Maka masih ada stunting dan lain sebagainya. Saya sengaja mengajak kita agar membuka neraca Indonesia tadi bahwa meski ada positifnya, ada anugerahnya, tapi ada juga kekurangannya agar kita menjadi bangsa yang cedas dan berani jujur pada diri sendiri,” ujarnya saat menyampaikan pidato peluncuran Universitas Muhammadiyah Sampit (UMSA) di Aquarius Boutique Hotel, Sampit, Selasa (16/5),
Haedar mengatakan jika pemerintah harus serius bekerja mengatasi masalah SDM ini. Potensi yang ada sepatutnya dikapitalisasi dan diakselerasi hingga SDM Indonesia berkarakter kompetitif dan unggul.
Selanjutnya, Haedar berpesan agar pemerintah tidak bersikap santai dalam mengelola SDM dengan membesar-besarkan prestasi yang telah dicapai bangsa Indonesia. Sebab selain bersifat ilusi, hal itu kata dia juga melenakan target Indonesia untuk bersaing dan unggul di ranah global.
“Jadi layak kalau kita, seluruh warga bangsa, pemerintah dan seluruh komponen untuk muhasabah sekaligus mujahadah. Melihat ke dalam lalu bekerja sungguh-sungguh,” kata Haedar dikutip dari laman muhammadiyah.or.id.
“Kalau sekadar hanya untuk bersenang-senang, kita insyaAllah bisa mengunggulkan segala kelebihan-kelebihan Indonesia, tapi hati-hati kalau itu yang terjadi, kita tidak bisa bangkit sebagai sebuah bangsa dan lalu introspeksi kenapa itu terjadi?” katanya
Haedar lalu mengutip beberapa beban mendasar seperti hutang negara yang mencapai 8.000 Triliun, hingga masalah korupsi yang mengakar. Indeks korupsi bangsa Indonesia bahkan makin buruk dan tak jauh beda dengan negara berkembang seperti Nigeria dan Bangladesh.
Menurut Haedar, Semua hal ini berakar dari sistem pembangunan SDM yang bermasalah, serta lalai akomodasi dari tiga sumber nilai utama bangsa Indonesia, yakni Pancasila, agama, dan kebudayaan luhur bangsa.
“Coba lihat, korupsi juga mestinya tidak terjadi karena agama manapun mengharamkan. Makanlah makanan yang baik dan halal. Tapi sistem bisa dibohongi, secanggih apapun dan makin pinter orang, makin pandai mengakali sistem,” sebutnya.
Haedar mengingatkan agar penegak korupsi pun, termasuk KPK mesti jujur. Kalau tidak jujur hilang legitimasinya sebagai lembaga pemberantas korupsi.
“Jujur itu artinya siapapun yang korupsi harus menjadi sasaran pemberantasan korupsi dan tidak boleh ada politisasi korupsi atau penindakan korupsi. (Misalnya) Ini dikejar, ini tidak dikejar, yang sudah tampak tidak dikejar, yang belum dicari-cari. Itu politisasi namanya. Kalau itu (terjadi), ambruk (bangsa Indonesia),” ujar Haedar.
“Maka bagaimana caranya kita bangun negeri ini dengan spirit kebersamaan dan etos kemajuan agar menjadi negeri seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa; merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atau dalam bahasa agama, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur,” pungkas Haedar. (*)