Site icon TAJDID.ID

Problem Pembuatan Daftar Kader Persyarikatan yang Akan Maju dalam Pileg 2024

Ilustrasi.

Oleh: Shohibul Anshor Siregar

Memberi perhatian lebih serius terhadap politik elektoral memang bisa berisiko bagi Muhammadiyah jika tidak ditakar sedemikian rupa. Mengapa?

Selama ini Muhammadiyah cukup terkesan enggan bersikap terbuka, meski sebetulnya orang luar banyak tahu atas kebersikapan tertentu Muhammadiyah.

Banyak warganya yang menjadi politisi dan itu tersebar di semua partai peserta pemilu meski dengan distribusi yang tak merata.

Mereka, sebagai politisi, sejauh ini, mungkin tak pernah berbuat hal yang amat fatal dan yang merugikan kepada diri mereka, partai mereka, apalagi terhadap Muhammadiyah, demi kepentingan politik kepartisanan mereka itu.
Begitu pun selalu ada dampak. Dalam didikan dan tuntunan moral Muhammadiyah mereka terlihat sama dan dengan profil yang tak jauh berbeda sekaitan dengan hasil kaderisasi yang mereka alami selama menjadi anggota persyarikatan.

Ada pemikiran baru yang semakin menguat terutama menjelang Muktamar terakhir. Tanpa bergeser sedikit pun dari khittah dalam politik yang sudah digariskan, ada hasrat untuk mengintervensi halus proses politik elektoral ini. Ini memang urusan politik yang agak hilir.

Membiarkan warga dengan pilihan politik masing-masing dan seolah tiada tahu bahwa mereka ada dalam meja perebutan para kader untuk mendulang suara, itu baik-baik saja dan sekaligus memiliki sisi kekurangan juga.
Lantas bagaimana intervensi tak berdampak buruk dan apalagi terkesan tak adil, dan terlebih, kesulitan paling seriusnya adalah, menakar intervensi itu. Taklah elok sekiranya ada yang goes too far hingga seolah ada peran kebrokeran. Secantik-cantik memainkan peran dalam perebutan kekuasaan pasti ada yang akhirnya merasa tak dipihaki sembari dirugikan. Itulah masalahnya.

Identifikasi kecenderungan pastilah akhirnya membangun gambar besar yang menunjukkan sikap kepemihakan politik Muhammadiyah yang tak didefinisikan dengan kata-kata, melainkan perbuatan agregatif.

Risiko itulah yang sedang menanti Muhammadiyah pada pemilu 2024. Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) sejak beberapa bulan lalu telah intensif membicarakan agar proses politik yang akan menghasilkan rezim pemerintahan ini (pemilu 2024) kelak dapat amat, kalau bukan lebih, ramah kepada umat, Muhammadiyah dan bangsa secara totalitas. Tentu obsesi serupa dimiliki oleh semua kelompok di Indonesia, dan bahkan di luar negeri. Begitu kan?

Bersambung ke hal 2

Dalam urusan hilir ini Muhammadiyah mungkin akan memulai pendataan kekuatannya sendiri (sebagai komunitas pemilih). Kemudian mencocokkan potensi itu dengan obsesi kader persyarikatan yang ingin beroleh dukungan untuk diseberangkan ke lembaga legislatif.

Jika ini diibaratkan membagi gudeg sepanci, tentulah secara pasti dapat dilakukan dengan penuh keadilan dan menghasilkan kepuasan pada semua pihak yang berbagi.

Akan banyak opsi sulit menjelma di hadapan. Lima kader berebut suara terbatas pada satu daerah pemilihan. Membaginya secara merata, selain sulit mendiktekan sikap itu kepada seluruh warga, juga dapat menghasilkan sebuah perasaan keadilan yang tak bermanfaat manakala suara yang dibagi itu sebetulnya tidak berkecukupan untuk menghasilkan satu kursi. Ahmad dari partai A dan Hamidah dari partai B dalam rivalitas sengit dengan kader persyarikatan lainnya dari partai yang berbeda [Muwahhid (partai C), Riyadhah (partai D), Imtihan (partai E), dan seterusnya) tentulah sama-sama mempunyai kelebihan sekaligus kelemahan.

Tetapi bisakah ditawarkan kepada mereka survei atau bahkan pemilu internal untuk penentuan tendensi dukungan agar kelak dipedomani untuk memutuskan satu calon paling potensil meraih kemenangan daripada tak seorang kader dapat berhasil jika distribusi dibiarkan merata sambil berharap para caleg itu berinisiatif mencari tambahan suara agar semua kader sama-sama terorbit?

Memang indah dalam teori untuk melibatkan mobilisasi seluruh jaringan persyarikatan untuk mencari suara ke dalam dan keluar agar semua kader yang berkompetisi sama-sama berhasil beroleh suara yang cukup untuk kursi legislatif.

Tetapi jika itu yang terjadi, Muhammadiyah telah naik kelas mengambil tugas-tugas yang jauh lebih besar dari totalitas tugas yang pernah dikenal oleh partai politik mana pun.

Salah satu keputusan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah ialah menginventarisasi nama-nama kader persyarikatan yang telah menyatakan diri sebagai caleg dan syukur jika sudah terdaftar di KPU melalui partainya. Ternyata tak mudah.

Bahwa setelah melakukan pembicaraan dan atau pertemuan informal dengan berbagai pihak, di antaranya PW Muhammadiyah Sumatera Utara (konsultasi kebijakan), beberapa sample dari PD Muhammadiyah se-Sumatera Utara (teknis pendataan), beberapa sample dari Pimpinan Parpol tingkat Sumatera Utara (teknis pendataan), dan; Ketua KPU Sumatera Utara (teknis pendataan), maka diperoleh beberapa kesimpulan yang menggambarkan tingkat kesulitan untuk melakukan pendataan, yakni sebagai berikut:

Pertama, PD Muhammadiyah mengenal semua aktivis politik “lama” (paling tidak yang telah berkiprah selama satu periode pemilu) dan sebagian aktivis baru. Tetapi mereka belum memiliki cara untuk memperoleh kepastian sesiapa di antara kader itu yang akan mendaftar pada tahun 2024. Mereka juga tidak memiliki cara untuk mengetahui apakah seseorang masih akan tetap setia bersama partainya atau pindah ke partai lain.

Kedua, Hingga hari ini parpol cenderung masih bersikap “defensif” dengan dalih bahwa yang mereka laporkan saat ini ke KPU barulah dokumen berstatus Daftar Calon Sementara”.

Beberapa kasus dapat dikemukakan untuk memperkuat fakta tingkat kesulitan pembuatan daftar yang diperlukan, yakni:

Jika misalnya disebut nama seseorang kader yang aktif pada partai tertentu maka pimpinan parpol yang ditemui selalu memberi jawaban bersifat normatif (misalnya “pastilah dicalonkan. Tapi kita lihatlah dalam waktu dekat”).

Beberapa waktu lalu seorang kader persyarikatan yang pernah ikut dalam kepengurusan Majelis menyatakan optimismenya untuk dicalonkan sebagai caleg no 1 dari dapil pilihannya. Dasar optimismenya adalah fakta penugasan partainya dalam jabatan strategis Bappilu 2024. Untuk sementara baiklah optimisme itu dipercaya. Tetapi siapa yang tak merasa tetap perlu waswas apakah “titah” dari “pemilik” partai oligarkis yang bersinggasana di Jakarta merestuinya nanti?

Bersambung ke hal 3

Kasus lain dapat diandaikan bahwa seorang kader persyarikatan meski kini menjabat sebagai anggota legislatif merangkap ketua partai, oleh sesuatu dan lain hal dapat saja tak berhasil beroleh nomor urut 1 dalam pencalegan dari dapilnya yang lama. Semua tahu bahwa proses pencalegan adalah salah satu agenda konflik tetap partai politik di Indonesia selain pencalonan ke kursi eksekutif dan permusyawaratan untuk menentukan pengurus.

Apakah mustahil seorang kader persyarikatan yang kini menjabat sebagai legislator menyatakan pindah partai ketika merasa dirinya tak diperlakukan adil dalam pencalegan (misalnya bukan sebagai nomor 1 atau dipildahkan ke dapil lain yang di sana ia tidak cukup familiar)?

Dalam diskusi beberapa waktu lalu dengan Ketua KPU Sumatera Utara antara lain ia berdalih, masa pendaftaran masih belum selesai. Tiba saatnya nanti Daftar Calon Sementara berubah menjadi Daftar Calon Tetap yang pada saat itu dapat diakses oleh semua pihak. Terkesan kuat adanya perasaan bersalah pada KPU jika menyebar data sementara ke lain pihak.

Ketiga, kemungkinan perubahan besar-besaran dari Daftar Calon Sementara ke Daftar Calon Tetap akan terjadi jika perubahan mekanisme pemilihan model proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.

Dengan kesulitan seperti yang digambarkan di atas itu, maka hampir dapat dipastikan bahwa saat ini cukup berisiko untuk menargetkan pembuatan daftar yang selanjutnya kelak dapat dipergunakan untuk rencana kerja teknis mobilisasi dukungan persyarikatan untuk kader yang maju pileg itu.

Meski pun demikian, Ketua PW Muhammadiyah Sumatera Utara telah menganjurkan agar segera dilayangkan surat permintaan data (seberapa realistis pun itu dalam penilaian) kepada seluruh Pimpinan Daerah. Syukur PD Muhammadiyah yang sebagian besar tak memiliki organ kelengkapan LHKP dapat bersukaria merespon. Setidaknya surat permintaan yang ditujukan kepada PD Muhammadiyah itu dapat dimaknai sebagai aba-aba yang dapat diterjemahkan sebagai “warming up politik” bagi seluruh jajaran persyarikatan.

Sesungguhnya ada kesempatan berijtihad lewat keringat keterlibatan unik dalam perhelatan politik ini dengan menggeser masalah agak ke hulu. Misalnya pergilah Muhammadiyah ke semua organisasi untuk menawarkan kesepakatan bahwa jika kita bersatu dengan risiko dibenci oleh para penggantang kekuasaan di jalur lain dan kemungkinan besar para oligark, tak hanya jumlah legislatif yang bersal dari persyarikatan yang dapat diperoleh dalam jumlah yang lebih proporsional. Tetapi juga Capres terbaik dengan tanpa harus menuntut sesuatu yang saat ini tak mungkin, yakni pencalonan presiden dari jalur perseorangan.

Semua orang mungkin sadar tantangan kurltural dan politik yang menidakmungkinkan terjadinyaa ijtihad itu. Padahal hasilnya bisa diteruskan ke arena pilkada gubernur, Bupati dan Walikota.

Ijtihad itu tentu terasa menentang sesuatu yang diaanggap sebagai nilai final bahwa urusan pembentukan kekuasaan melalui pemilu hanyalah domain tunggal partai politik sebagaimana mereka telah amankan hak-hak amat sangat istimewa itu dengan regulasi yang tak begitu sukar ditemukan penentangannya atas konstitusi dan nilai demokrasi luhur.

Di manakah pangkal semua masalah ini? Rasanya ada pada tradisi di rumah pertama kelahiran demokrasi bahwa politik adalah urusan sekuler yang di sini, di Timur, di negeri tempat KHA Dahlan menyemai amal salih, diikuti dengan penuh sukacita. (*)

Penulis adalah Dosen FISIP UMSU dan Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Sumut

Exit mobile version