Integritas Pemilu
Muhammadiyah merasakan bahwa makin lama dirinya semakin terkurung dalam lingkungan apatisme politik warga. Kecenderungan hubungan rakyat dengan parpol sebelum, semasa dan setelah pemilu, begitu kaya narasi sedih dan menyedihkan.
Pola-pola hubungan dengan para caleg sebelum, semasa dan setelah pemilu, juga tak jauh berbeda dengan yang dialami oleh kelompok lain yang pada dasarnya bertumpu pada kualitas perwakilan yang terus merosot. Evaluasi ketersahutan dan ketidak tersahutan serta peluang memanfaatkan saluran-saluran aspirasi politik rakyat adalah kisah menyedihkan sebagaimana dalam kasus RUU Ciptakerja yang buruk itu, untuk menyebut sebuah contoh.
Banyak lagi menyangkut hal-hal khas daerah dalam bidang politik yang dibincangkan dalam forum yang meski dipandang penting, namun tak dapat difahami jika hanya mengajukan sebuah gugatan atas integritas pemilu.
Tetapi para ahli yang begitu serius mencurahkan pikiran pada pemilu dan teknis pelaksanaannya terlihat seolah berusaha mengenali hutan belantara hanya dengan membedah sebatang pohon belaka. Artinya, pemilu hanyalah sebuah entry point belaka yang menyambungkannya secara filosofis dengan maslahat rakyat tampaknya tak begitu diperhatikan.
Hulu persoalan ada pada demokrasi yang jika dievaluasi secara objektif tentu tak memadai jika hanya menelaah fenomena terbatas dalam sebuah negara. Sejak awal demokrasi yang dipasar-paksakan ke sekuruh dunia bahkan telah diwarnai oleh perang dan pertumpahan darah yang dirancang. Bagi Barat demokrasi tampaknya hanyalah modus baru untuk penjajahan melanjutkan hegemoni penuh noda.
Barangkali baiklah ditegaskan bahwa demokrasi hanyalah sebuah penamaan untuk sebuah sistim pemerintahan yang rancang bangun dan isinya harus terus diperbaiki dan tak perlu 100 persen membebek ke Barat. Makna kompatibilitas demokrasi harus dibalik dengan seberapa besar ketidak-sesuaian nilai-nilai demokrasi yang diajarkan dengan nilai-nilai lokal yang tak boleh dipandang rendah dengan penuh keserta-mertaan yang ceroboh.
Karena itu jika ada kader yang berbakat dan memiliki peluang untuk direkrut dalam organisasi penyelenggara pemilu, tak perlu dianggap tak penting. Kepada mereka perlu diingatkan tragedi kelapa condong. Muhammadiyah tahu banyak data tentang ketakterpujian proses rekrutmen dan kinerja penyelenggara pemilu yang menggoreskan cacat moral bangsa.
Menyikapi Pemilu 2024
Muhammadiyah memiliki anggota yang merangkap sebagai kader partai, seluruh partai yang ada. Tentu wajar mereka berkeinginan dan terus berusaha beroleh dukungan Muhammadiyah. Banyak cara yang dilakukan, tetapi modus penyederhanaan makna demokrasi dengan mobilisasi berdasarkan ganjaran material diakui telah cukup membahana saat ini dan Muhammadiyah tak dapat berbuat banyak.
Telah luas diketahui bahwa negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi dan institusi demokrasi yang lemah sangat rentan terhadap gangguan ketentraman pemilu. Sarah Birch (Electoral Violence, Corruption, and Political Order, 2020), meneliti bagaimana aktor korup menggunakan kekerasan untuk mendukung bentuk manipulasi pemilu lainnya, termasuk pembelian suara dan pengisian surat suara.
Sebagaimana ditegaskan oleh Pippa Norris (Election Watchdogs: Transparency, Accountability and Integrity, 2017), terlalu sering pemilu di seluruh dunia sangat cacat atau bahkan gagal. Padahal kontestasi semacam itu akan merusak kepercayaan pada otoritas terpilih, merusak jumlah pemilih, memicu protes, memperburuk konflik, dan kadang-kadang menyebabkan perubahan rezim.
Pemilu yang dikelola dengan baik, dengan sendirinya, tidak cukup untuk keberhasilan transisi menuju demokrasi. Tetapi kontes yang cacat, atau bahkan gagal, dianggap merusak kemajuan yang rapuh.
Muhammadiyah tahu bahwa pelanggaran serius hak asasi manusia yang merusak kredibilitas pemilu dikecam secara luas. Namun, demokrasi yang sudah lama berdiri jauh dari kebal terhadap penyakit ini. Namun, ketika masalah terungkap, apakah ada yang dimintai pertanggungjawaban dan apakah solusi yang efektif diterapkan
Muhammadiyah hanya mampu menyerukan partisipasi warganya dan berharap negara makin baik ke depan.
Penutup
Apakah Muhammadiyah ingin kadernya menjadi Presiden RI, banyak menteri, banyak Gubernur, Bupati, Walikota dan menjadi pejabat negara pada posisi strategis? Tentu saja. Tetapi ia telah membatasi hasrat itu dengan model keorganisasian serta orientasi kerja sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
Diskursus tentang jarak dengan politik bukan tak pernah marak di lingkungan internal. Tetapi tetap saja penegasan tak pernah melemah bahwa untuk mencapai maksud dan tujuannya itu, Muhammadiyah ingin terus melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid yang diwujudkan dalam usaha di segala bidang kehidupan.
Usaha Muhammadiyah juga diwujudkan dalam bentuk amal usaha, program, dan kegiatan, yang macam dan penyelenggaraannya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga dan penentu kebijakan dan penanggung jawaban semua amal usaha, program, dan kegiatan itu adalah Pimpinan Muhammadiyah di semua tingkatan.
Mungkin itulah bagian dari potret politik Muhammadiyah. (*)
Penulis Dosen FISIP UMSU. Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut