Zakir Naik ditolak di mana-mana karena rasisme baru Islamofobia. Bagaimana dengan UAS? Di Bali, 8 Desember 2017, UAS tak dikehendaki kalangan tertentu untuk menjalankan tugas dakwahnya. Ormas yang mengatas namakan Komponen Rakyat Bali (KRB) dan seorang anggota DPD RI, waktu itu berhasil diyakinkan oleh UAS.
Data digital pada internet tentang penolakan atas kehadiran UAS dapat dilacak dengan mengetik “UAS ditolak” yang segera dijawab oleh Google dengan judul-judul berita terkait. Tetapi tak sedikit data yang menunjukkan upaya coba-coba pihak tertentu yang belakangan berakhir gagal karena alasan penolakan dapat dipatahkan.
Singapura, di antara beberapa negara yang pernah menolak, adalah satu negara tetangga yang pernah menolak UAS meski di sana ia tak direncanakan berdakwah di tengah jama’ah. Dalam artikelnya berjudul “UAS, Singapura dan Islamophobia” Direktur Sabang Merauke Circle Syahganda Nainggolan, dengan menyetir syair lagu Sting berjudul “Englishman in New York”, lagu satir seorang Inggris di negara yang dia dirikan sendiri, menyebut Singapura adalah tanah Melayu, tanah nenek moyang UAS, yang dikuasai pendatang.
Memang kini mulai kabur dari ingatan banyak orang, bahwa Inggris, melalui tangan Sir Stamford Rafless, dulu membangun Singapura (1819) sebagai kota pelabuhan, setelah mendapatkan konsesi penggunaan lahan dari Sultan Johor, Malaysia, dan menjadi salah kekuatan keuangan dunia.
Di balik semua penolakan terhadap Zakir Naik, UAS dan para pendakwah Islam lainnya, masalah utama ialah Islamofobia yang kini sudah mengkristal menjadi rasisme baru yang sangat berbahaya.
Pergeseran Pasca Era Soeharto
Populisme yang dahsyat di balik fenomena UAS menjadi hitungan tersendiri bagi para analis politik. Hal itu ditopang oleh terjadinya pergeseran kegiatan dakwah di Indonesia dengan pemanfaatan sosmed. Di Monash University, Melbourne, Australia, 14 Februari 2019 yang lalu, diselenggarakan sebuah seminar bertema “Are Muslim preachers pushing Indonesian politics to the right?” Prof Julian Millie, pembicara utama, mengetengahkan data bahwa popularitas para dai seperti UAS tampaknya melatarbelakangi upaya Pemerintah RI untuk membuat sejumlah aturan. Mulai dari pelarangan organisasi HTI pada 2017, sertifikasi dai, hingga daftar 200-an dai yang diakui pemerintah melalui Kementerian Agama. Baginya hal ini sebuah perkembangan menarik, mengingat Indonesia sebenarnya relatif menikmati kebebasan sejak jatuhnya Soeharto.
UAS, menurut Prof Julian Millie, adalah generasi kedua dai yang secara efektif memanfaatkan sosmed dalam berdakwah. Tim UAS bekerja sistematis menayangkan ceramah melalui sosmed setiap hari, selain secara sukarela didukung banyak orang lain yang juga memposting ulang. Tetapi harus dicatat bahwa UAS menanjak cepat menjadi sangat populer adalah karena materi dakwahnya yang selalu menampilkan Islam sebagai jawaban atas segala persoalan dan mengupasnya secara apa adanya. Meski UAS banyak humor dalam ceramahnya, dan itu salah satu kekuatan tak terbantahkan dalam diri UAS, substansi tak pernah samar. Bahkan sebaliknya kerap bumbu humor digunakan dengan begitu mulus untuk meringankan eksplorasi substansi masalah-masalah genting yang sedang mengemuka.
Penutup
Dalam artikelnya “How ‘moderate’ are Indonesian Muslims?”. Nathanael Sumaktoyo (2019) menunjukkan posisi Indonesia di tengah tuduhan-tuduhan intoleransi dan semisalnya. Terlepas dari konsep dan parameter yang mungkin sangat perlu ditinjau dari pandangan Islam, penulis ini dengan lugas mengungkapkan bahwa Indonesia terletak hampir persis di tengah-tengah ufuk (ekstrim kanan dan kiri). Indonesia jauh kurang konservatif dibandingkan Malaysia, tetapi lebih konservatif dibandingkan Libanon atau Turki. Barangkali, lanjut Sumaktoyo, dengan menolak baik konservatisme ekstrim maupun sekularisme atau liberalisme ekstrim, umat Islam Indonesia memang pantas mendapatkan reputasi sebagai “moderat”.
Dapat dipastikan bahwa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menjadikan alasan kenegarawanan UAS sebagai salah satu pertimbangan kuat dalam menetapkan kehadirannya dalam agenda daerah. Dari materi-materi ceramah UAS memang terindikasi kuat karakter dan obsesi untuk pengokohan sikap kenegarawanan yang terus bertumbuh dan berkembang di dalam dirinya dan di dalam diri semua orang yang mengikuti jalan fikiran dakwahnya.
Dengan tak berniat menuntun limau berduri, barangkali tidak salah untuk sekadar memberi saran kepada UAS dalam orientasi dakwahnya ke depan. Indonesia yang berpenduduk terbesar ke 4 di dunia dan yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, sesungguhnya didirikan dengan niat dan cita-cita tulus membebaskan umat manusia, di mana pun, dari segala bentuk penjajahan, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut dalam upaya ketertiban dunia.
Kalimat-kalimat sakral itu kini begitu terasa menuntut pengejawantahan terlebih di tengah neoliberalisasi yang terasa semakin menisbikan determinan nasib warga dalam arus modal, kudeta modal dan semacamnya.
Kapasitas kenegarawanan UAS pasti dapat memotivasi semua warga negara (baik dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan) untuk memperjelas arah yang tepat dalam memetakan roadmap kekinian untuk merealisasikan cita-cita yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 itu. (*)
Penulis dosen Sosiologi Politik FISIP UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).