Secara politis UAS dan para dai lain seperti Ustaz Adi Hidayat pasti berobsesi mengaburkan kategori ustaz “plat merah” dan “plat hijau”, dalam arti Islam yang bersumber sama menginginkan perpegangan pada hanya “tali Allah” (Ali Imran 103). Memang di hadapan kekuasaan tak sedikit bukti kekurang-berhasilan mengeliminasi ketegangan antara siapa yang memerintah dan siapa yang diperintah. Membuatnya menjadi tak relevan selalu berurusan dengan kecenderungan perbedaan orientasi para pemuka agama dan pemimpin pemerintahan.
Meskipun dinamika ini akan terus mengalami pasang surut, dan kemungkinan tetap adanya argumen elit tertentu di balik organisasi pemerintahan (daerah dan pusat) dalam hal pemosisian serta pemberian peran pemimpin agama seperti UAS dalam kehidupan politik, upaya untuk mengeliminasi iklim kurang harmonis itu tidak akan pernah berhenti.
Narasi sangat tangkas UAS dalam sebuah acara pada Kementerian Kelautan semasa dipimpin oleh Susi Pujiastuti (2018) dapat menjadi contoh variasi sikap pada organisasi pemerintahan pusat. Sebagaimana kehadiran UAS dalam memenuhi undangan dari pemerintahan daerah juga membuktikan hal yang sama.
Salah satu pokok kontroversi dalam masalah ini ialah doktrin agama yang hanya sebagai agama dalam pengertian yang oleh sebagian (terutama kaum sekuler dan ateis) harus berada di luar arena selain urusan akhirat. Masalah ini telah melanda dunia begitu lama, dan perluasannya begitu pesat karena didorong oleh govermentalisasi peminggiran agama ke luar arena kehidupan selain urusan peribadatan semata.
Jika hal ini terasa amat paradoks, adalah karena faktanya begitu banyak negara di dunia ini yang di dalam konstitusinya menyebut supremasi Tuhan, dan dalam prinsip pengelolaan negara dan pemerintahan secara formal tetap menyatakan hasrat untuk mengacu pada moral agama, padahal dalam praktik kerap sangat berseberangan, maka besaran masalah dalam pemosisian agama dalam politik dan pemerintahan itu ternyata terus membesar setiap saat.
Masalah-masalah sensitif semacam itu secara tak terstruktur namun dengan konsistensi yang konstan tetap muncul dengan frekuensi yang tak kecil dalam narasi para pemimpin agama di Indonesia, tak terkecuali dari UAS. Agama memang kerap dituduh telah diperalat untuk tujuan politik, tetapi yang menuduh kerap justru sedang menikmati dan tak ingin terusik dari kondisi yang dituduhkannya sebagai hal buruk kepada orang lain.
Paradoks lain ialah bahwa kekuasaan dan politik juga sering sangat mendambakan suntikan energi dari pemimpin agama sebagaimana terlihat dalam kekerapan penyelenggaraan acara doa lintas iman. Masalah paling menggelikan tentu saja ketika elit pemerintahan yang sangat awam agama berusaha menstandarkan keberagamaan sesuai pandangan dan kepentingan subjektifnya.
Diterpa Islamofobia
Begawan dakwah internasional Zakir Naik kerap menghadapi kesulitan menjalankan dakwah di berbagai negara, termasuk di negaranya sendiri, India. Tetapi lawan dialognya, para pemimpin agama yang berbeda dan komunitasnya, tidak selalu bersikap sama. Untuk topik Ketuhanan Jesus Kristus, misalnya, Zakir Naik, mengikuti jejak gurunya almarhum Ahmad Deedad, dengan pengelolaan dan publikasi forum yang piawai, selalu berlangsung penuh sukacita.
Zakir Naik berprinsif “Qul yā ahlal-kitābi ta’ālau ilā kalimatin sawā`im bainanā wa bainakum allā na’buda illallāha wa lā nusyrika bihī syai`aw wa lā yattakhiża ba’ḍunā ba’ḍan arbābam min dụnillāh, fa in tawallau fa qụlusy-hadụ bi`annā muslimụn” [Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)].
Faktanya, para pemimpin agama yang berbeda dan yang menjadi mitra dialog Zakir Naik itu yang kerap menginisiasi debat dan dengan sukarela membawa serta para pengikutnya ke forum. Rupanya para pemimpin politik tak sependapat dengan mereka.
Agama memiliki kekuatan misionarisme yang di dalamnya terdapat tak hanya orientasi penataan perilaku hidup masyarakat dan pemerintahan, melainkan juga konsekuensi-konsekuensi lain dalam hitungan populasi penduduk. Ada kecemasan pada para elit di Barat dan di negara-negara satelitnya di seluruh dunia menyaksikan hasil-hasil dakwah Islam dengan penuh kecemasan.
Hal ini bukan sesuatu yang baru, dan apa yang terbersit dari tesis Samuel P Huntington (1996) tentang perbenturan perdaban itu, hanyalah kelanjutan dari permasalahan lama yang bahkan dapat dihubungkan ke rentetan Crusades dan perjanjian sewenang-wenang berisi klaim pembagian dunia di luar Eropa yang dibuat antara Spanyol dan Portugis (Tratado de Tordesilhas, 1594 dan Tratado, 1529), Pax Brittanica (1815-1914) dan Pax Americana (dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia Ke II).
Dilaksanakan tak sehebat evangelisasi (baik dilihat dari organisasi, pembiayaan dan sumberdaya manusia), namun hasil da’wah dilihat dari jumlah populasi umat Islam terus menunjukkan laju pertumbuhan lebih besar, baik karena faktor kelahiran maupun karena faktor kemu’allafan dan kemurtadan. Artinya meski diakui bahwa dalam komunitas Islam terdapat fenomena simultan kemu’allafan dan kemurtadan, namun dalam komposisi penganut agama Islam diprediksi akan terus memimpin.