Pada kesempatan yang sama, Nana Firman memberikan banyak cerita mengenai praktik ekologis yang dijalani masyarakat muslim di Amerika serta memberikan penguatan bahwa kelompok agama punya posisi penting yang tidak bisa diperankan oleh ilmuwan dan aktifis nGO yaitu peran menjaga moral dan spiritual.
“Banyak ilmuwan sudah merasa mentok bahwa krisis iklim bukan hanya masalah yang bisa sepenuhnya dipecahkan oleh kekuatan sains tetapi jelas tidak semua jawaban dan eksekusi bisa diemban oleh ilmuwan,” kata Nana Firman.
Menurutnya, penyelesaian masalah krisis harus menjadi tanggungjawab kelompok agama di bumi, tanpa itu dampak krisis iklim akan semakin tak tertahankan.
Dirinya mengatakan, akan ada semakin banyak pengungsi iklim dan pulau-pulau tenggelam dan penderitaan manusia serta mahluk hidup akan semakin berat apabila suhu udara kenaikkannya melebihi 1,5 derajat celcius.
Pada sesi tanya jawab, beberapa pertanyaan disampaikan mahasiswa Al Azhar yang juga anggota PCIM, antara lain terkait bagaimana mempraktikan hidup ramah lingkungan di skala keluarga misalnya perilaku hidup terhadap sampah, dan juga ada pertanyaan mengenai krisis lingkungan yang ternyata dipicu oleh ambisi pembangunan seperti kasus Wadas dan sejauh mana keterlibatan kelompok agama.
Ada banyak pengusaha tambang yang agamanya Islam, tokoh agama bahkan, pemerintah Indonesia juga kelompok islam juga tetapi kebijakannya sering menabrak nilai-nilai islam.
Salah seorang Ustadz bernama Fachrudin, penulis buku Generasi Terakhir yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris serta Arab menerangkan semangat kelompok Islam untuk berbuat demi kelestarian bumi.
Menurutnya sudah banyak kesepahaman global di kalangan pemimpin Islam akan krisis iklim, bahkan, beberapa Syech dari Al Azhar juga menjadi bagian dari upaya pencegahan krisis ini di berbagai forum misalnya forum di Bogor dan Istambul.
Imam Besar Al-Azhar Dr. Ahmed At-Tayeb, menyatakan bahwa Islam tidak melihat benda materiil yang statis seperti melihat makhluk mati yang tidak memiliki kesadaran. Sebaliknya, semua yang ada di dunia mulai dari manusia, hewan, tumbuhan hingga benda-benda mati lainnya dilihat Islam sebagai wujud entitas yang hidup dan beribadah kepada Allah dengan bahasa yang tidak dipahami manusia.
“Bila kita mengimani bahwa semua makhluk di dunia ini bertasbih, maka tidak ada alasan bagi kita untuk menolak keberadaan mereka sebagai makhluk hidup. Materi yang mati tak mungkin dapat bertasbih dan beribadah,” ujarnya, dilansir youm sabi.
Hal seperti ini juga pernah disampaikan oleh Grand Syekh Al-Azhar dalam pidatonya di Konferensi Tingkat Tinggi Pemimpin Antar Agama untuk Perubahan Iklim bertajuk “Iman dan Sains” yang digelar di Vatikan, Senin (4/10). Pertemuan ini menjadi pendahuluan dari Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021 (COP26) yang digelar bulan Desember mendatang di Skotlandia.
Pemimpin tertinggi institusi keislaman terbesar di dunia itu menambahkan bahwa kisah penciptaan dalam Al-Quran dan Alkitab menegaskan bahwa orang pertama yang turun di bumi, diturunkan dalam kapasitasnya sebagai khalifah yaitu menjadi wakil Allah di dalamnya.
Menurutnya, Allah mengangkat manusia sebagai khalifah setelah mempersiapkan bumi untuk melayaninya sehingga Dia berpesan kepadanya agar jangan merusaknya dalam bentuk apapun.
Imam Besar al-Azhar itu menghimbau kepada setiap orang yang berhati nurani, terlepas dari keyakinan dan agama mereka, untuk mencegah setiap aktivitas yang merusak lingkungan atau memperburuk krisis perubahan iklim. Secara khusus, beliau mengajak kepada para ulama dan agamawan agar menunaikan kewajiban agama mereka dalam memikul tanggung jawab terhadap krisis alam ini.
Setelah dua jam berlangsung, kegiatan silaturahmi ditutup dengan ucapan terima kasih dan rasa gembira dari perwakilan PCIM Mesir, Alfi.
Menurutnya, banyak pengetahuan baru yang belum pernah didapatkan di kampus tentang krisis iklim dan agama. Setelah forum ditutup dilanjut makan bersama dan diskusi ringan-ringan sebagai ramah tamah untuk benar-benar saling menyemangati. (*)
Kontributor: Iwan Abdul Gani