TAJDID.ID~Medan || Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan (FIS Unimed), Prayetno SIP MSi menyoroti tantangan menuju suksesi politik Indonesia 2024. Menurutnya, tantangan tersebut bisa dilihat dari perspektif global dan isu nasional.
“Dari perspektif global diketahui sedang terjadi tren anti demokrasi di seluruh penjuru dunia. Sedangkan dari isu nasional sedang terjadi kemunduran kualitas atau regresi kehidupan demokrasi. Kedua perspektif ini mempengaruhi konstelasi politik dan demokrasi Indonesia menuju suksesi 2024,” ujar Prayetno ketika tampil sebagai pembicara dalam acara Seminar Nasional dan Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) LHKP PW Muhammadiayah Sumut di Garuda Plaza Hotel, Medan, Jum’at (22/7/2022).
Indonesia: Flawed Democracy
Sebagai bahan perbandingan, Prayetno kemudian mengutip hasil riset yang dikeluarkan Economist Intelligence Unit (EIU) tentang Indeks Demokrasi Indonesia; pada tahun 2019: 6,48, 2020: 6.30 dan 2021: 6,71. Indikator yang dipakai EIU adalah: proses pemilu dan pluralisme, kebebasan sipil, partisipasi politik, fungsi dan kinerja pemerintah, dan budaya politik.
“Berdasarkan kelima indikator yang diukur oleh EIU untuk menentukan Indeks Demokrasi, skor Indonesia naik pada tiga aspek, yakni keberfungsian pemerintah, yakni dari 7,50 menjadi 7,86. Kebebasan sipil naik dari 5,59 menjadi 6,18. Sementara partisipasi politik melesat dari skor 6,11 menjadi 7,22,” bebernya.
Namun, kata Prayitno, masih ada dua aspek yang stagnan dibandingkan dengan tahun lalu. Proses elektoral dan pluralisme tak bergerak di skor 7,92. Adapun indikator budaya politik juga masih berada di angka 4,38. Di kawasan Asia Tenggara, kualitas demokrasi Indonesia masih lebih rendah dari Malaysia (7,24) dan Timor Leste (7,06).
“Laporan riset EIU tersebut menempatkan predikat Indonesia sebagai negara dengan demokrasi yang lemah (flawed democracy), yakni kondisi di suatu negara demokratis (penyelenggara pemilu bebas dan adil) dimana pada aspek demokrasi lainnya terdapat kelemahan yang signifikan,” jelasnya.
“Namun penting jadi catatan, tidak bias menilai demokrasi Indonesia hanya berdasarkan data kuantitatif saja, wasapadai fakta kualitatifnya,” imbuhnya.
Untuk bisa memperbaiki Indeks Demokrasi Indonesia tersebut, menurut Prayetno salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan memperkuat literasi politik melalui pembangunan warga digital yang mencerminkan keseimbangan kekuatan negara, kebangkitan dan penguatan masyarakat sipil, serta meningkatkan kesadaran akan hak-hak sipil dan politik masyarakat.
Proyeksi Pemilu 2024
Terkait Pemilu 2024, Prayetno melihat hajatan akbar demokrasi tersebut sangat rumit. Indikasinya jumlah 416 kabupaten, 98 kota dan di 34 provinsi, total 548 daerah akan melaksanakan pilkada serentak 2024.
“Kemudian anggaran pemilu sebesar 75,6 triliun. Tentunya ini harus bisa dirasionalkan ke publik agar tidak timbul kecurigaan. Belum lagi durasi masa kampanye 75 hari, jelas ini kerja berat buat penyelenggara,” ungkap Prayetno.
Prayetno juga menyinggung soal potensi konflik pemilu 2024 yang berbeda jauh dengan pemilu sebelumnya, yakni terkait polarisasi tim paslon, sensitifitas grass roots, hoaks di ruang publik, efek threshold (lihat pasal 222 UU 7/2017 ttg pemilu), ongkos politik mahal, eskalasi konflik horizontal meningkat, menguatnya identitas politik
dan ketidaktaatan azas (UU RI nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah/ UU RI nomor 2 Tahun 2020 ttg penetapan Perpu nomor 2/2020,UU RI nomor 17 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, UU RI nomor 7 tahun 2012 tentang pencegahan konflik sosial (lihat pasal 6), dll)
Karena itu, kata Prayetno, untuk menyiasati potensi konflik tersebut perlu dilakukan beberapa langkah antisipatif dengan memperkuat suprastruktur politik, yakni seluruh alat kelengkapan negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif, KPU), dan memaksimalkan peran infrastruktur politik, dalam hal ini parpol, interest group, pressure group, media massa, tokoh-tokoh masyarakat dan lain-lainnya.
Prayetno juga mengingatkan agar mewaspadai daerah rawan konflik pada pemilu 20224. Dijelaskannya, secara demografi daerah yang rawan konflik itu adalah Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sedangkan secara geografi yang harus diwaspadai itu daerah Papua dan Maluku.
“Sementara secara historis, daerah yang berpotensi konflik itu meliputi Kalbar, Maluku, Sulsel, Sulteng dan NTT,” ungkapnya.
Kemudian, secara khusus Prayetno menjelaskan bagaimana tantangan pemilu 2024 di Sumatera Utara. Menurutnya tantangannya masih sama dengan yang sebelumnya, yakni terkait fanatisme dukungan calon sangat tinggi. Kemudian Sumut adalah daerah yang paling rawan penduduknya. Selain itu, politik identitas diprediksi masih mewarnai hampir setiap hajatan kontestasi elektoral.
Strategi Mitigasi Konflik Pemilu 2024
Mengingat begitu besar potensi konflik Pemilu 2024, Prayetno memandang perlu disosialisasikan strategi mitigasi konflik Pemilu 2024.
Setidaknya ada 7 strategi mitigasi konflik Pemilu yang ditawarkan Prayetno, yakni: (1) Taat asas. (2) Pelibatan suprastruktur dan infrastruktur secara optimal. (3) Law enforcement (lihat pasal 280 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum). (4) Keadilan dalam penegakan aturan main (hukum) pemilu. (5) Sengketa hasil pemilu harus diselesaikan sesegera dan seadil- adilnya. (6) Optimalisasi dan perkuat peran penyelenggara pemilu. (7) Mewujudkan dan menjamin profesionalitas, imparsialitas, dan Netralitas penyelenggara dan aparat. (*)