TAJDID.ID || Krisis ekonomi yang melilit Sri Lanka belakangan ini membuat negara tersebut tidak dapat membeli bahan bakar yang cukup, sementara makanan dan kebutuhan dasar menghadapi kelangkaan.
Kondisi ini kemudian membuat warga Sri Lanka marah dan melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran, yang memicu seluruh menteri kabinet pemerintahan Presiden Gotabaya Rajapaksa mengundurkan diri dan krisis politik dimulai.
Di tengah kesulitan yang dihadapi Sri Lanka, China dilaporkan telah menolak memberikan konsesi pembayaran utang kepada Kolombo.
Sejauh ini, total utang Sri Lanka ke China mencapai 8 miliar dolar AS, hampir seperenam dari total utang luar negeri negara tersebut yang mencapai 45 miliar dolar AS.
Utang dari China sendiri digunakan Sri Lanka untuk membiayai sejumlah proyek yang nyatanya tidak menghasilkan uang.
Menurut lembaga think tank European Foundation For South Asian Studies (EFSAS), pembayaran utang Sri Lanka dalam mata uang dolar yang jatuh tempo tahun ini berjumlah lebih dari 6 miliar dolar AS, termasuk obligasi negara senilai 1 miliar dolar AS yang jatuh tempo pada Juli.
“Ada kekhawatiran yang berkembang di antara lembaga pemeringkat dan ekonom bahwa negara tidak akan mampu membayar bahkan ini,” kata EFSAS.
China dilaporkan telah menolak untuk menanggapi seruan Sri Lanka untuk menjadwal ulang utangnya. Bahkan Duta Besar China untuk Sri Lanka pada Maret mengatakan Beijing lebih tertarik untuk mempertimbangkan pinjaman 1 miliar dolar AS lebih lanjut dan jalur kredit 1,5 miliar dolar AS.
Sri Lanka Jadi Alarm Peringatan
Situasi yang dihadapi Sri Lanka saat ini tampaknya menjadi peringatan bagi negara-negara tetangga yang memiliki utang besar pada China.
The Hong Kong Post menyebut posisi Pakistan adalah yang paling genting. Laporan itu mengatakan Pakistan berada di puncak daftar negara penerima bantuan BRI (Belt and Road Initiatives), dengan proyek senilai 27,3 miliar dolar AS.
Disebutkan, China telah menjerat Pakistan dalam jebakan utang BRI dengan suku bunga tinggi, persyaratan pembayaran yang kaku, dan kurangnya transparansi. (*)