Bila dilihat dari sejarah, negara kita merdeka karena kita bersatu dalam lingkup toleransi. Namun hal tersebut tidak lagi diperhatikan sebagai motivasi kita untuk mencapai makna semboyan bangsa ini yakni “Bhineka Tunggal Ika”. Sejak dini anak muda dalam IMM dan lingkungannya perlu dibina kesiapan dirinya untuk bekerja sama hingga menimbulkan kesadaran bahwa berbeda itu indah. Itu sebabnya sangat perlu mempersiapkan sumber daya manusia unggul dari kader-kader kita yang memiliki latar belakang berbeda-beda menjadi potensi untuk dikolaborasikan dalam kompetisi menciptakan inovasi baru di era revolusi industri 4.0 demi mengharumkan Medan, Sumatera Utara, membawa kejayaan Indonesia dan membangun peradaban dunia.
Narasi di atas merupakan pengantar dari sebuah misi besar yang perlu sama-sama kita kerjakan untuk kemajuan bangsa ini. Dari hal terkecil atau elemen terkecil perlu kita selaraskan dalam sebuah tindakan. Hal ini diperlukan agar berbagai tindakan kita mengalami kemajuan yang efektif dan strategis dalam realisasinya.
Hari ini kita yang tergabung dalam wadah anak bangsa, yang terus menjunjung keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) membawa misi penting sebagai agen dalam tatanan sosial. Memegang mandat khusus sebagai kader umat, kader bangsa, dan kader persyarikatan dalam tri dimensi kader kita. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Memiliki banyak peran dalam progresifitas pikiran, prilaku, tatanan, dan berbagai hal yang erat kaitannya dengan masyarakat. Sebagai Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) adalah harapan yang memiliki sisi perjuangan dalam kemanusiaan atau sering kita sebut sebagai humanis.
Dari sinilah dapat kita tarik sebuah gerbong gerakan yang akan kita jalankan pada rel-rel yang tidak lagi melihat perbedaan itu sebagai sebuahhalang rintang untuk kemaslahatan bangsa. Berbagai potensi dapat kita himpun, dan kita torehkandalam green design dan blue print pergerakan yang akan kita sebut sebagai kolaborasi.
Sejak tadi teori-teori yang di kemukaan di atas merujuk pada sebuah keadaan dan problematika yang begitu nyata dan benar-benar sedang kita hadapi. Kadang kala krisis toleransi mengakibatkan kita tak bisa maju untuk mencapai keberhasilan bersama.Medan yang sejak dulu merupakan metropolitan dengan keberagamannya perlu kita rawat, sebagai wahana belajar dan wahana bermasyarakat yang kian melekat pada tiap kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang memang lahir daripada masyarakat itu sendiri.
Bila kita pupuk toleransi itu, jaminan kesejahteraan dalam ranah kolaborasi akan membawa kita pada kemajemukan yang maju. Sebagai refleksi, jelas nyatanya pada berbagai alasan yang di kemukaan sebelum fokus pikir ini tertulis, dengan kata lain ketika orang-orang di luaran sana sudah sibuk dengan pengembangan teknologi yang dahsyat dan menguasai pasar global, kita hanya sebagai konsumen yang kerap meributkan hal yang sepele dan mempertontonkan ketertinggalan kita. Alias tidak punyanya kita sebuah hal yang di sebut progresifitas.
Satu hal penting yang perlu di kemukakan juga di sini adalah halang rintang yang merujuk pada tubuh IMM sendiri. Bila sejak tadi kita membahas hal yang general, sekarang mari kita lihat fakta lapangan dari hal terkecil juga perlu kita sorot sebagai permasalahan toleransi internal yang banyak menggembungkan masalah-masalah yang berkaitan dengan adanya kubu-kubu yang di selubungi banyak kepentingan. Harapannya kader-kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang terdidik dan yang anggun moralnya serta unggul intelektualnya tidak mengecap rasa yang pahit akibat dampak dari masalah empedu kita sendiri. Dengan bahasa yang lebih sederhana adalah, merawat keberagaman yang paling sederhana dapat kita lakukan dengan merawat keberagaman pikir internal kita terlebih dahulu. Menyampingkan ego dan kepentingan-kepentingan pribadi. Serta jangan menjadikan masalah internal yang di bungkus kepentingan sebagai penghalang untuk kemajuan PC IMM Kota Medan.
Bila hal ini terjalankan maka, akan terbentuk progresifitas tersebut, dan secara otomatis kolaborasi akan terwujud baik di internalmaupun eksternal.
“Tidak berguna banyak paragraf yang penuh dialek di atas bila kita tidak membawanya pada kajian untuk berefleksi.” (*)