Senada dengan hal tersebut dikutip dari buku “Higher Education in The Era of The Industrial Revolution” dikemukakan
“The Mckinsey Global Institute released a 2017 report, Harnessing Automation for a Future that Works, which measured the likelihood of automation in 54 countries which covered 78% of the global labor market. What they found reveals the scale of impact of 4IR (Fourth Industrial Revolution). Organized by sector, the data collected show that 50% of current jobs in agriculture, forestry, fishing, and hunting, representing 328.9 million employees, are potentially automatable. For manufacturing, 64% of current jobs are automatable, representing 237.4 million current employees. For retail trade, 54% of current jobs, representing some 187.4 million current employees are automatable.5 When considered by nation rather than industry, we see massive shifts for the world’s biggest economies. McKinsey anticipates that for China 395.3 million employees are in potentially automatable jobs, making up 51% of the labor force.6 In India, 235.1 million employees are working in automatable jobs. And in the United States 60.6 million, or 46% of the workforce, are currently in automatable jobs” (Gleason, 2018:4).
Artinya ”Mckinsey Global Institute merilis laporan 2017, Harnessing Automation for a Future that Works, yang mengukur kemungkinan otomatisasi di 54 negara yang mencakup 78% pasar tenaga kerja global. Apa yang mereka temukan mengungkapkan skala dampak Revolusi Industri Keempat.
Diurutkan berdasarkan sektor, data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa 50% pekerjaan saat ini di bidang pertanian, kehutanan, perikanan, dan perburuan, yang mewakili 328,9 juta karyawan, berpotensi dapat diotomatisasi. Untuk manufaktur, 64% pekerjaan saat ini dapat diotomatisasi, mewakili 237,4 juta karyawan saat ini. Untuk perdagangan ritel, 54% dari pekerjaan saat ini, yang mewakili sekitar 187,4 juta karyawan saat ini dapat diotomatisasi.
Jika dipertimbangkan berdasarkan negara daripada industri, kami melihat perubahan besar-besaran untuk ekonomi terbesar di dunia. McKinsey mengantisipasi bahwa untuk Cina 395,3 juta karyawan berada dalam pekerjaan yang berpotensi dapat diotomatisasi, yang merupakan 51% dari angkatan kerja. Di India, 235,1 juta karyawan bekerja dalam pekerjaan yang dapat diotomatisasi. Dan di Amerika Serikat 60,6 juta, atau 46% dari angkatan kerja, saat ini berada dalam pekerjaan yang dapat diotomatisasi”.
Berdasarkan kutipan tersebut diketahui disrupsi di berbagai bidang sudah tak terbantahkan di era revolusi industri 4.0. Tidak semua pekerjaan akan tergantikan di era ini tetapi semuanya akan berubah teknis pengerjaannya yang cenderung bersifat digital. Bila situasi tersebut terjadi maka kesejahteraan ekonomi yang berganda dan besar hanya dimiliki oleh beberapa orang saja yakni orang-orang yang mampu memposisikan dirinya di era revolusi industri 4.0.
Dampak sosial dari revolusi industri 4.0 tadi mengajak kita untuk berpikir bersama, agar kita mengetahui cara-cara untuk mampu masuk ke dalam era revolusi ini tanpa terkejut. Dengan cara berkarakter cerdas dalam menyikapi setiap perubahan-perubahan yang terjadi, kita akan mampu membawa diri kita dalam mengikuti arus di era revolusi industri 4.0.
Namun, faktanya diantara kita ada sebagian masyarakat yang belum memiliki karakter cerdas, apalagi di masa krisis toleransi seperti saat ini. Teknologi dan digital masih digunakan oleh sebagian masyarakat sebagai sarana memecah belah persatuan, bukan untuk berinovasi. Dari masalah ini maka diperlukan suatu pendidikan yang memberi pengajaran tentang cara saling menghormati, mengerti dan toleransi, serta menghargai adanya perbedaan.
Pendidikan yang khas dengan perbedaan itu disebut pendidikan multikultural hal demikian senada dengan yang dikemukakan oleh R. Ibnu Ambaruddin dalam jurnalnya ia menyebutkan pendidikan multikultural adalah proses pendidikan yang diimplementasikan pada kegiatan pembelajaran di satuan pendidikan selalu mengutamakan unsur perbedaan sebagai hal yang biasa, sebagai implikasinya pendidikan multikultural membawa peserta didik untuk terbiasa dan tidak mempermasalahkan adanya perbedaan secara prinsip untuk bergaul dan berteman dengan siapa saja tanpa membedakan latar belakang budaya, suku bangsa, agama, ras, maupun adat istiadat yang ada (Ambaruddin, 2016:31-32).
Dilihat dari kondisi sekarang, di saat sebagian masyarakat sibuk berlomba-lomba ingin menciptakan inovasi terbaru tetapi sebagian lainnya justru sibuk pada kegiatan yang memecah belah, akhirnya sebagian dari masyarakat tersebut seolah-olah menjadi seseorang yang belum teredukasi dengan baik. Pendidikan multikultural sebagai kampanye IMM perlu di gaungkan di kota medan untuk merawat keberagaman, hal ini diharapkan berhasil membangun karakter cerdas anak-anak muda sebagai penerus bangsa. Anak muda inilah yang berpotensi sebagai sumber daya manusia unggul untuk mampu melakukan kegiatan yang mempunyai kegiatan ekonomis, yaitu bahwa kegiatan tersebut menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan atau masyarakat (Sumarsono, 2003:4).