Oleh: Dito Afako
Pendahuluan
Maqashid Al Syariah ialah suatu tujuan dalam Hukum Islam, dan pada akhirnya menjadikan agama Islam sebagai agama yang Rahmatan lil Alamin.
Arti Maqashid berasal dari kata maqshad yang berarti maksud, kesengajaan, dan tujuan. Sementara Syariah artinya ialah ketentuan, atau segala ketentuan-ketentuan yang berasal dari Allah ﷻ.
Jadi, apabila kita artikan seluruhnya, Maqashid al Syariah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai menggunakan syariah atau seluruh aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah ﷻ dan Rasulullah ﷺ. Tujuan-tujuan Islam yang nanti secara substansial ada dalam syariat Islam ini tidak dibuat untuk suatu hal yang sia-sia. Maqashid al Syariah diciptakan oleh Allah ﷻ untuk memberikan manfaat dan menjauhkan segala sesuatu yang buruk bagi seluruh umat muslim.
Dalam al~Qur’an pun dijelaskan kewajiban untuk menaati ketentuan-ketentuan Allah, Rasul, dan para ulil amri’ yaitu pada surat An-Nisa ayat 59 yang kurang lebih artinya sebagai berikut :
“Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan kepada para pemimpin di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya,”. (Q.S. An-Nisa [4]:59).
Dalil tersebut sepertinya cukup untuk dijadikan suatu dasar agar seluruh umat muslim menjadi taat dan patuh terhadap Allah ﷻ sebagai Tuhan semesta alam, kepada Rasulullah ﷺ, dan ulil amri’ atau pemimpin yang berdaulat.
Jinayah adalah hukum pidana yang berlandaskan pada sumber hukum Islam. Kemudian, adapun dalam Islam yaitu Siyasah. Siyasah secara bahasa berasal dari kata al-siyasi yang berarti mengatur. Kata ini mengacu pada kekuasaan, karena pada dasarnya fungsi adanya suatu pemerintahan atau kekuasaan ialah berfungsi untuk mengatur rakyat.
Dalam menegakkan siyasah ini, maka diperlukan suatu tujuan yang jelas. Menurut penulis, tujuan yang jelas itu berasal dari Maqashid al Syariah, karena tujuan-tujuan tersebut dapat memberikan keadilan dan kemakmuran kepada umat.
Dalam ketatanegaraan Islam, hukum yang berlaku sangat berpengaruh dalam perjalanan pemerintahan dalam suatu negara. Hukum tata negara yang berlandaskan Islam dapat dijadikan rujukan dan rekomendasi sebagai alternatif hukum positif di Indonesia, hal ini dikarenakan jumlah ummat muslim Indonesia menempati posisi pertama dibanding penganut agama lain.
Jadi, dari alasan demografi tersebut maka negara Indonesia bisa disebut sebagai Daulah Islamiyyah.
Selain itu, dari Maqashid al Syariah juga dapat menjadi rujukan dalam menjalankan ketatanegaraan yang berlandaskan Islam. Daulah Islamiyyah perlu adanya suatu prinsip yang membawa kaum muslim menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Kemudian, untuk menjalankan syariat Islam secara praktik maka perlu mengetahui maksud dan tujuan dari pemikiran Islam seperti apa.
Isi
Wael B. Hallaq mengatakan bahwa maqashid al syari’ah adalah upaya mengekspresikan penekanan terhadap hubungan kandungan hukum Tuhan dengan aspirasi hukum yang manusiawi. (Ridwan Jamal, MAQASHID AL-SYARI’AH DAN RELEVANSINYA DALAM KONTEKS KEKINIAN, STAIN Manado, hlm 3)
Dalam ajaran Islam, Maqashid al Syariah dapat dibagi ke 3 jenis kebutuhan, yaitu kebutuhan Dharuriyyah (Primer), kebutuhan Hajiyyah (Sekunder), dan kebutuhan Tahsiniyyat (Pelengkap).
Dalam bukunya “Pengantar Hukum Islam” (2016), hlm 31-35, Rohidin menjelaskan kebutuhan primer dalam Maqashid al Syariah ada beberapa macam yaitu :
- Hifdz Ad-Din (Memelihara agama) => yaitu melindungi keberagamaan atau keberadaan agama yang beragam sebagai bentuk kemanusiaan yang dicontohkan oleh syariat Islam tepatnya pada Surah Al Kafirun ayat 1-6. Selain itu, memelihara agama disini mengartikan bahwa setiap muslim haruslah menjaga agamanya sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
- Hifdz An-Nafs (Memelihara jiwa) => ialah suatu kemerdekaan yang dimana setiap orang tanpa terkecuali mendapatkan hak untuk hidup, dan hak hidup itu pada dasarnya melekat dalam diri seseorang. Jangan sampai ada satu individu atau kelompok yang merenggut nyawa manusia tanpa sebab, karena semua manusia adalah ciptaan Allah ﷻ
- Hifdz Al-Aql (Memelihara akal) => Dalam agama Islam, mestilah akal menjadi hal utama, terlebih mencakup dalam capacity sebagai seorang manusia, seperti halnya untuk menentukan subjek hukum. Subjek hukum dalam KUH Perdata pasal 1330 bahwasanya kecakapan dalam membuat suatu perjanjian. Kriteria yang ada dalam pasal tersebut menunjukkan bahwa akal seseorang dapat mempengaruhi seberapa cakap orang tersebut untuk melakukan perbuatan hukum, seperti orang yang dalam pengampuan itu dikategorikan tidak cakap dalam berhukum. Selain hal tersebut, syariat Islam juga dapat dijadikan dasar untuk memelihara akal, seperti larangan meminum khamr, berjudi, dan lain-lain
- Hifdz An-Nasl (Memelihara keturunan) => ialah suatu kewajiban sebagai seorang muslim untuk menjaga keturunan. Untuk perlindungan terhadap keturunan adalah dengan disyariatkannya perkawinan untuk melahirkan generasi yang saleh dan bertawakal kepada Allah ﷻ dan jelas nasabnya. Memelihara keturunan disini juga disyariatkan mengenai larangan zina, karena dapat menimbulkan beberapa mudharat. Salah satunya ialah adanya anak yang tidak jelas nasabnya sehingga tidak mendapat warisan.
- Hifdz al-Mal (Memelihara harta) => Syariat Islam juga menyuruh kepada kaum muslim untuk menjaga dan memelihara hartanya dengan menjaga warisan yang nanti akan dibagikan kepada keluarganya dengan bagian-bagian yang sesuai dengan syariat. Hal ini untuk bertujuan untuk mencukupi kebutuhan duniawi keluarga yang nanti ditinggalkan.
Selanjutnya, adapula kebutuhan sekunder atau kebutuhan hajiyyat, yaitu kebutuhan yang dimana apabila kebutuhan primer sudah terpenuhi. Kebutuhan haijyyat ini menjadikan manusia dapat mempermudah kehidupan sehinggatidak merusak kehidupan.
Kemudian, kebutuhan tahsiniyyat atau kebutuhan tersier yaitu adanya kebutuhan yang bersifat muru’ah atau moral, apabila kebutuhan ini tidak ada, maka tidak sampai merusak kehidupan juga.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, eksistensinya masih dapat diperhitungkan dengan adanya suatu peraturan daerah yang bernuansa syariat Islam. Salah satunya Perda tentang pemberantasan maksiat yang diatur dalam Perda Provinsi Sumatera Selatan No. 13/2002 tentang Pemberantasan Maksiat dan Perda kota Bengkulu No. 24 tahun 2000 tentang Larangan Pelacuran dalam Kota Bengkulu. Dalam peraturan tersebut secara langsung dapat membawa manfaat karena dapat mencegah hal yang diharamkan oleh Allah ﷻ.
Seperti halnya yang ada pada larangan pelacuran, larangan ini dapat mencegah menyebarnya penyakit-penyakit menular sekaligus dapat memelihara agama seperti yang ada dalam Maqashid al Syariah. Dengan adanya syariah Islam dalam hukum positif, maka dapat menjaga marwah kaum muslimin di Indonesia.
Hal tersebut dapat diperkuat juga dengan alasan demografi Indonesia yang sebagian besar adalah penganut agama Islam. Inilah yang menjadikan hukum Islam sebagai suatu aturan yang sering digunakan di Indonesia. Contohnya adalah adanya hukum waris Islam. Yang nantinya dari hukum waris Islam tersebut dapat menjaga nasab ummat Islam.
Maqashid al Syariah menjadi suatu nilai dasar yang menjadi tegaknya hukum positif yang substansinya terdapat syariah Islam. Nilai-nilai itu dapat menjadi pedoman karena dapat membawa ummat Islam menuju agama yang Rahmatan lil Alamin.Maslahat dalam hal ini dibagi menjadi tiga, yaitu :
- Maslahat yang bersifat qath’i yaitu sesuatu yang diyakini membawa kemaslahatan karena didukung oleh dalil-dalil yang tidak mungkin lagi ditakwili, atau yang ditunjuki oleh dalil-dalil yang cukup banyak yang dilakukan lewat penelitian induktif, atau akal secara mudah dapat memahami adanya maslahat itu.
- Maslahat yang bersifat zhanni, yaitu maslahat yang diputuskan oleh akal, atau maslahat yang ditunjuki oleh dalil zhanni dari syara’
- Maslahat yang bersifat wahmiyah, yaitu maslahat atau kebaikan yang dikhayalkan akan bisa dicapai, padahal kalau direnungkan lebih dalam justru yang akan muncul adalah madharat dan mafsadat (Al-Zuhaili, 1986:1023-1029).
Penutup
Sebagai suatu yang membawa maslahat, Maqashid al Syariah dapat menjadikan ummat Islam penuh keberkahan karena hukum tersebut berasal dari Allah ﷻ dan Rasulullah ﷺ. Dengan hal tersebut. Maqashid al Syariah menjadi suatu nilai yang berharga yang dijaga oleh kaum muslim terutama di Indonesia. Suatu kewajiban bagi seluruh kaum muslim untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mesti tetap dijaga sebagai suatu ibadah dan menandakan bahwa kita adalah golongan orang yang bertakwa kepada Allah ﷻ
Hukum positif yang bernuansa Islam mestilah diteruskan untuk adanya suatu maslahat bagi ummat muslim. Karena sebagai seorang muslim, haruslah menegakkan keadilan dan memberantas kedzaliman. Itu menjadi suatu keharusan bagi seluruh ummat muslim di Indonesia.
Dari Maqashid al Syariah tentu tidak menghapus keberagamaan atau perbedaan keagamaan di Indonesia karena sejatinya Islam tidak memaksakan dalam memilih agama yang terkandung dalam ayat Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 256.
Lebih lanjut, al-Syathibi (tanpa tahun:70) dalam uraiannya tentang maqashid al-syari’ah membagi tujuan syari’ah itu secara umum ke dalam dua kelompok, yaitu tujuan syari’at menurut perumusnya (syari’) dan tujuan syari’at menurut pelakunya (mukallaf). Maqashid al syari’ah dalam konteks maqashid al-syari’ meliputi empat hal, yaitu :
- Tujuan utama syari’at adalah kemaslahatan manusia di dunia dan
di akhirat. - Syari’at sebagai sesuatu yang harus dipahami.
- Syari’at sebagai hukum taklifi yang harus dijalankan.
- Tujuan syari’at membawa manusia selalu di bawah naungan hukum.
Bibliografi
- Ridwan Jamal, MAQASHID AL SYARI’AH DAN RELEVANSINYA DALAM
KONTEKS KEKINIAN, Manado - Rohidin, 2016, Pengantar hukum Islam, Lampung
- Shidiq Ghafar, 2009, Teori maqashid al syariah dalam hukum islam, Semarang
- Ichsan Muhammad, 2015, Pengantar hukum Islam, Yogyakarta
Dito Afako, Mahasiswa Fakultas Hukum Brawijaya Malang