Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Narasi Indonesia tentang “agama baru” bernama korupsi tidak boleh degradatif hingga berujung pada pembicaraan tentang 75 orang terpental dari KPK melalui disain tertentu dengan instrumen birokrats anti merit system berupa test pengalihan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara yang dinamai test kebangsaan itu.
Kandungan test itu memang sangat buruk terutama jika dilihat dari tujuan besar di luar teknis pemberantasan korupsi yang dicurigaai berinduk pada paradigma besar Islamofobia.
Masalah besar Indonesia dan mungkin dunia dalam hal korupsi itu adalah kesalahan mengenalinya sebagai sebuah budaya dan doktrin keniscayaan “agama baru” yang erat kaitannys dengan nilai dan sistem demoktasi dan politik yang dibangun merujuk pada kepentingan neoliberalisme global.
Hanya karena kegagalan mengenali akar masalahlah yang menyebabkan Indonesia terus berkutat pada masalah furuiyah (elementer atau ranting) sehingga tak kunjug lahir narasi yang melampaui pertikaian amat teknis hukum yang diikuti oleh reaksi-reaksi “kita dan mereka” sembari mempertegas kondisi politik keterbelahan Indonesia kontemporer.
Korupsi itu seperti akar sebatang pohon yang sebesar apa pun pohonnya dapat diidentifikasi bagian paling vital dari akar yang jika dipotong akan serta merta mematikan pohon (korupsi) itu.
Kesalahan seperti itulah yang dialami Indonesia sejak Orde Baru yang pernah memiliki bermacam lembaga anti korupsi yang tak pernah efektif dan bahkan ditengarai berakhir dengan kapitalisasi lembaga anti korupsi itu sebagai instrumen politik kekuasaan belaka.
Sayangnya lembaga-lembaga yang dibentuk atas besutan badan-badan dunia juga terjebak pada kelemahan lama. Meski begitu, keniscayaan pengaruh badan-badan internasional bermotif ganda berhasil menutupi semua data kegagalan.
Korupsi tidak akan pernah berhasil diberantas dengan pembentukan lembaga terpusat seperti KPK yang secara politik harus selalu menghindari sasaran pangkal atau induk sebagaimana akar vital dalam sebuah pohon.
Jika mau jujur sudah lebih dari cukup data yang membuktikan KPK tidak dibutuhkan meski lembaga itu terus saja beroleh kesempatan mengglorifikasi diri dengan kasus-kasus kecil yang dipublikasi dengan tendensi framing untuk memeroleh efek populisme di tengah keawaman rakyat.
Tidak jarang negara yang jatuh dalam kenikmatan populisme menyesatkan dan akhirnya menyesali perjalanan negara dan bangsa setelah berlalu begitu lama.
Hal-hal substantif itulah mestinya yang menjadi wacana. Diskusi Indonesia harus dialihkan untuk mengenali hakikat korupsi agar energi dan waktunya tidak sia-sia dalam mengitari isu-isu remeh-temeh.
Saya membayangkan dalam beberapa bulan ke depan ada tokoh dari kalangan negarawan yang berniat menjadi Presiden RI dengan tekad melawan korupsi dengan langkah awak membubarkan KPK sembari serius meluruskan orientasi dan tradisi kerja pada lembaga penegak hukum konvensional.
Selanjutnya tokoh negarawan yang bertekad menjadi Presiden Indonesia itu secara tegas mengumumkan bahwa jika terpilih akan membuat tradisi baru yakni enam bulan sebelum berakhir masa jabatan akan diperiksa seluruh hartanya oleh tim independen yang bekerja atas mandat rakyat, bukan atas keputusan Presiden.
Menampung tetesan air di lantai saat hujan memang bermanfaat, tetapi yang harus dikerjakan adalah memperbaiki atap.
Jika dada sesak dan sulit bernafas karena asap, maka api yang menyebabkan asap itu yang harus dimatikan.
Jadi korupsi akan tetap “menjadi agama dan terus diagamakan dengan caranya sendiri” selama korupsi belum dikenali. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU, Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut