Harapan Umat dan Bangsa
HOS Tjokroamninoto pada pidato Pembukaan KongresSjarikat Islam di Bandung, 17 Juni1916, antara lain berisi pemikiran penting demikian:
“…….Kita belum bisa menempati tempat yang layak di bawah matahari. Kita telah menyaksikan bagaimana kelemahan kita mewujudkan atau meningkatkan kehidupan dan keterampilan kita sesuai Islam. Itu semua disebabkan oleh pengabaian kita atas al-Quran, pendidikan, industri, pertanian, dan komersial.
Kondisi kita yang memprihatinkan inilah yang menyebabkan bangs aasing memandang rendah kita. Ketika perdagangan dan industry tetap berada di tangan orang asing, pengejaran kemajuan kita tidak akan membuahkan hasil.
Bersandar pada orang asing, jika kita menikahkan nasib dan kesengsaraan kita dengan orang asing. Pada titik ini hamper semua cabang bisnis ada di tangan yang longgar, dan kita biasanya adalah buruh (kuli), sehingga manfaat besar bertambah kepada orang asing dan menjadi semakin umum.
Orang asing menggunakan tenaga kita dan mereka memanfaatkannya, kita bekerja siang dan malam untuk kepentingan mereka.
Jelas bahwa orang-orang kita kelelahan untuk orang lain.”
Jika diukur secara cermat, pidato 114 tahun lalu itu ternyata masih sangat relevan untuk diucapkan dan diperbincangkan hari ini. Seakan tidak ada yang begitu berbeda di kolong langit Indonesia dalam kurun seabad lebih.
Ironisnya, setidaknya dalam 6 tahun terakhir, gagasan dan pemikiran Bung Karno juga sebetulnya cukup banyak diperbincangkan dan para pembijaksana negara cukup gencar menstir dalam pidato-pidatonya, serta para akademisi pun cukup rajin menyandarkan analisisnya pada pemikiran proklamator ini.
Sebutlah doktrin trisakti (berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam budaya). Begitu dahsyat pemikiran itu sebetulnya. Tetapi mengapa tetap tidak begitu menggembirakan keadaan kita?
Apakah karena bangsa kita terlalu menikmati overdosis asupan demokrasi hingga kita lebih berelahati mencurahkan tenaga dan pikiran untuk pertarunga nmemperebutkan kekuasaan, dan di bawah semangat demokrasi liberal seperti saat ini kita telah tak menyadari ketibaan pada semangat yang berbeda karena lebih menikmati pertikaian demi pertikaian serius sesamea anak bangsa yang tak begitu hirau dengan cita-cita kebangsaan sesuai konstitusi?
Konsitusi kita secara imperatif menegaskan misi pedirian negara-bangsa yang tak tertawar, ialah melindoengi segenap bangsa dan seloeroeh toempah darah, memadjoekan kesedjahteraan oemoem, dan mentjerdaskan kehidoepan bangsa.
Jenis pertanggungjawaban apa yang dapat kitaberikan kepada bangsa dan Negara, dan terlebih kepada generasi pewaris atas keadaan yang amat tak menggembirakan ini? (Bersambung hal 3)