TAJDID.ID~Medan || Forum Masyarakat Sipil Sumatera Utara (FORMASSU) menyampaikan pernyataan sikap akhir tahun yang berisi keprihatinan mendalam sekaligus ultimatum tegas kepada negara terkait berulangnya bencana banjir di berbagai wilayah Sumatera. FORMASSU menilai, bencana tersebut tidak lagi dapat dipahami semata sebagai peristiwa alam, melainkan sebagai akibat langsung dari kegagalan penegakan hukum lingkungan dan pembiaran perusakan hutan secara sistematis.
Dalam pernyataannya, FORMASSU menegaskan bahwa banjir bandang, longsor, hingga hilangnya sejumlah desa di kawasan hilir merupakan dampak akumulatif dari illegal logging, deforestasi masif, perambahan kawasan hutan, serta alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Kerusakan daerah aliran sungai (DAS) dan kawasan tangkapan air disebut telah berlangsung lama tanpa pengawasan dan penindakan yang memadai.
Ketua Umum FORMASSU, Ariffani, SH, MH, menyebut kondisi tersebut sebagai alarm keras kegagalan negara dalam menegakkan hukum lingkungan. Menurutnya, selama pelaku utama perusakan hutan—termasuk pemodal dan korporasi besar—tidak tersentuh hukum, maka rakyat kecil akan terus menanggung dampaknya.
“Bencana banjir di Sumatera adalah peringatan serius atas kegagalan penegakan hukum lingkungan. Ketika hutan dirusak dan hukum tidak berani menyentuh pelaku besarnya, maka rakyat, termasuk anak-anak, dipaksa membayar harga yang sangat mahal,” tegas Ariffani.
FORMASSU juga menekankan bahwa secara konstitusional negara memiliki kewajiban mutlak untuk melindungi lingkungan hidup dan warga negara. Hal ini, menurut mereka, ditegaskan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 tentang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, Pasal 28B ayat (2) tentang hak anak, serta berbagai undang-undang seperti UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, hingga UU Perlindungan Anak.
Namun, FORMASSU menilai implementasi aturan tersebut masih jauh dari harapan. Penegakan hukum lingkungan dinilai lemah, selektif, dan cenderung “tumpul ke atas namun tajam ke bawah”. Masyarakat desa dan pelaku kecil kerap menjadi sasaran, sementara aktor intelektual dan pemilik modal justru luput dari pertanggungjawaban hukum.
Sorotan khusus juga diarahkan pada dampak bencana terhadap anak-anak. Sekretaris Umum FORMASSU, Rafdinal, MAP, menyatakan bahwa anak merupakan kelompok paling rentan dalam setiap bencana. Ia menilai kegagalan negara melindungi anak dalam situasi bencana sama dengan mempertaruhkan masa depan generasi berikutnya.
“Dalam setiap banjir, anak-anak kehilangan rasa aman, pendidikan, gizi, ruang tumbuh, bahkan masa depan. Jika negara gagal melindungi anak dalam bencana, maka negara sedang mempertaruhkan generasi berikutnya,” ujar Rafdinal.
Atas dasar itu, FORMASSU menegaskan bahwa prinsip kepentingan terbaik bagi anak (*best interests of the child*) harus menjadi landasan utama dalam seluruh kebijakan penanganan bencana, mulai dari pencegahan hingga pemulihan pascabencana.
Dalam pernyataan sikapnya, FORMASSU menyampaikan sejumlah tuntutan konkret. Di antaranya penegakan hukum pidana tanpa kompromi terhadap seluruh pelaku illegal logging dan deforestasi, penghentian segera aktivitas perusakan hutan, serta audit total dan terbuka terhadap seluruh izin kehutanan, perkebunan, dan pertambangan di kawasan hulu dan DAS.
FORMASSU juga mendesak penerapan moratorium deforestasi permanen di wilayah rawan banjir dan longsor hingga pemulihan ekologis tercapai, pembentukan satuan tugas penegakan hukum lingkungan yang diawasi publik, serta pemulihan lingkungan dan sosial berbasis keadilan, termasuk rehabilitasi hutan dan DAS.
Selain itu, FORMASSU menuntut perlindungan khusus terhadap hak anak dalam situasi bencana, seperti penyediaan pengungsian ramah anak, akses pendidikan darurat, layanan kesehatan dan gizi, dukungan psikososial, serta pencegahan kekerasan, eksploitasi, pekerja anak, dan perkawinan anak akibat bencana. Perlindungan kearifan lokal dan nilai budaya masyarakat desa juga dinilai penting agar pemulihan tidak menghapus identitas sosial komunitas terdampak.
FORMASSU mengapresiasi langkah-langkah pemerintah dalam penanganan darurat bencana. Namun, mereka menegaskan bahwa bantuan kemanusiaan tanpa penegakan hukum dan pencegahan struktural hanya akan melanggengkan siklus bencana yang sama.
Pernyataan sikap akhir tahun ini disebut sebagai peringatan keras sekaligus ultimatum kebijakan. FORMASSU menegaskan, jika illegal logging dan deforestasi terus dibiarkan, penegakan hukum lingkungan tetap diskriminatif, dan hak anak tidak menjadi prioritas, maka negara telah gagal menjalankan mandat konstitusionalnya.
“Tahun mendatang harus menjadi titik balik—dari pembiaran menuju ketegasan hukum, dari eksploitasi menuju pemulihan, dan dari ketidakadilan menuju keadilan ekologis dan sosial,” tegas FORMASSU.
FORMASSU menyatakan akan terus mengawal, mengadvokasi, serta menempuh langkah-langkah konstitusional yang sah apabila tuntutan tersebut diabaikan. Bagi mereka, setiap bencana yang berulang bukan lagi sekadar musibah, melainkan cermin kegagalan kebijakan dan penegakan hukum negara. (*)

