TAJDID.ID~Medan || Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara menggelar kegiatan “Sosialisasi KUHP: Pemahaman Substansi dan Implikasi terhadap Penegakan Hukum Nasional”. Acara ini dilaksanakan secara hybrid melalui Zoom Meeting serta disiarkan langsung oleh TVRI Sumut, Selasa (9/12).
Kegiatan tersebut menghadirkan Wakil Menteri Hukum dan HAM RI, Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, S.H., M.Hum., sebagai keynote speaker. Turut hadir Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Sumut, Ignatius Mangantar Tua Silalahi, S.H., M.H., serta para narasumber: Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Assoc. Prof. Dr. Faisal, S.H., M.Hum., dan Tenaga Ahli Komisi III DPR RI, Dr. Afdhal Mahatta, S.H., M.H.
Dalam pemaparannya, Faisal menjelaskan bahwa Indonesia segera memberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menjadi tonggak pembaruan besar dalam sistem hukum pidana nasional. KUHP yang baru memuat pengaturan mengenai tindak pidana, pelaku, sanksi (hukum pidana materiil), serta pedoman pelaksanaannya.
Ia menegaskan bahwa sosialisasi masif perlu dilakukan kepada masyarakat, akademisi, media, serta aparat penegak hukum. APH harus mendapatkan pelatihan intensif terkait filosofi, asas, hingga pasal-pasal baru yang membawa perubahan mendasar dalam sistem pemidanaan.
Pemerintah juga perlu segera menyusun aturan turunan, seperti pedoman pidana denda, pidana kerja sosial, hingga pengaturan mengenai living law.
Namun, Faisal turut menyoroti sejumlah problematika dalam implementasi KUHP baru, terutama terkait kepastian hukum. Frasa “hukum yang hidup” dinilai berpotensi multitafsir karena belum adanya batasan jelas mengenai hukum adat apa yang dapat dipidanakan dan di wilayah mana berlaku. Hal ini, menurutnya, dapat memunculkan ketidakpastian dalam penegakan hukum. Selain itu, isu terkait ketentuan pelaku santet dan kewenangan aparat juga menjadi tantangan tersendiri.
Di akhir sesi, ia berharap penerapan KUHP Baru dapat mewujudkan sistem hukum pidana nasional yang modern, humanis, berkeadilan restoratif, serta berlandaskan nilai-nilai Pancasila—sekaligus menandai berakhirnya ketergantungan pada KUHP warisan kolonial Belanda. (*)

