TAJDID.ID~Medan || Dalam refleksi tajamnya terhadap perjalanan bangsa pasca-jatuhnya Orde Baru, pengamat politik dan sosial Shohibul Anshor Siregar menyebut bahwa apa yang dahulu dikutuk keras—yakni mentalitas kekuasaan yang anarkis, koruptif, manipulatif, dan tidak empatik terhadap rakyat—kini justru tumbuh semakin kuat di hampir semua rezim setelah reformasi.
Menurut Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Sumut ini, fenomena ini bukan sekadar gejala politik, melainkan cerminan krisis multidimensional yang mengakar dalam struktur sosial, hukum, ekonomi, budaya, dan bahkan peradaban bangsa.
“Mindset dan total behavior yang dulu kita cela sebagai simbol otoritarianisme dan keserakahan kini justru lebih kental, baik secara kualitas maupun kuantitas. Rezim berganti, tapi watak dasarnya sama: kekuasaan digunakan bukan untuk melayani, melainkan untuk mempertahankan dominasi,” ujar Siregar.
Reformasi Tanpa Transformasi
Dari sudut pandang teori politik, Shohibul menilai bahwa reformasi 1998 gagal mengubah substruktur kekuasaan.
“Institusionalisasi demokrasi memang terjadi—ada pemilu, partai, dan kebebasan berbicara—tetapi semuanya berlangsung tanpa transformasi mental dan etika politik. Demokrasi kita jatuh ke dalam transactional democracy,” katanya.
Ia menambahkan, elit politik hari ini tak lagi berjuang untuk ideologi atau nilai, melainkan untuk pembagian rente. “Akibatnya, rakyat tidak lagi percaya pada janji perubahan. Politik menjadi pasar bebas kepentingan,” ujarnya.
Normalisasi Amoralitas Kolektif
Secara sosiologis, Shohibul menyebut bahwa masyarakat Indonesia kini hidup dalam struktur ketimpangan moral. Dulu kita punya musuh bersama bernama kekuasaan otoriter. Kini musuh itu menyebar dalam diri kita sendiri. Banyak yang ikut menikmati ketidakadilan, selama tak jadi korban langsung,” katanya.
Ia menilai bahwa fenomena mass amnesia—di mana masyarakat melupakan cita-cita reformasi—muncul karena penyesuaian diri terhadap sistem yang rusak.
“Masyarakat kita belajar bertahan, bukan memperbaiki,” katanya. “Itu sebabnya muncul sindiran ‘mas Anarkismin’ dan ‘mbak Sarkastiyem’—dua sosok imajiner yang mewakili kekecewaan publik terhadap nihilnya keberanian moral.” sebutnya.
Ketika Keadilan Jadi Barang Mewah
Dari perspektif hukum, Shohibul menilai sistem keadilan di Indonesia kini lebih menyerupai teater kekuasaan. “Rezim demi rezim berjanji menegakkan hukum tanpa pandang bulu, tapi yang kita lihat justru selective enforcement,” katanya.
Menurutnya, hukum di Indonesia mengalami degradasi epistemik: ia tidak lagi dilihat sebagai penjaga keadilan sosial, tetapi alat legitimasi kekuasaan.
“Inilah saat di mana hukum berhenti menjadi panglima, dan justru menjadi pelayan para penguasa,” tegasnya.
Pertumbuhan Tanpa Keadilan
Dalam aspek ekonomi, Shohibul menegaskan bahwa model pembangunan yang diadopsi pasca-Orde Baru bersifat eksploitatif dan elitis. “Pertumbuhan ekonomi hanya menguntungkan segelintir orang. Sementara rakyat kecil dibiarkan hidup dalam ilusi kemajuan,” katanya.
Ia menyoroti bahwa sistem ekonomi yang terlalu berpihak pada modal besar telah menghapus ruang bagi ekonomi rakyat. “Kita memuja investasi, tapi melupakan distribusi. Kita berbicara tentang pertumbuhan, tapi lupa pada keadilan,” ungkapnya.
Budaya Krisis Makna dan Ketulusan
Dari sisi budaya dan peradaban, Shohibul melihat krisis yang lebih dalam: hilangnya sense of sincerity. “Budaya bangsa kita dulu ditopang oleh nilai malu, gotong royong, dan kesahajaan. Sekarang semua itu terkikis oleh budaya pamer, konsumtif, dan sinis,” ujarnya.
Ia menyebut sindiran “Mas Anarkismin” dan “Mbak Sarkastiyem” sebagai simbol kehilangan arah moral bangsa. “Kita menertawakan kekacauan, kita menormalisasi kebohongan. Padahal, ini tanda bahwa peradaban kita sedang kelelahan secara spiritual,” katanya.
Dari Politik ke Puisi
Menutup refleksinya, Shohibul mengutip lagu legendaris Ebiet G. Ade: “Ebiet mengajak kita bertanya, tapi beliau pun mengakui, kini tempat bertanya hanya tersisa rumput yang bergoyang.”
Shohibul menilai kalimat itu bukan sekadar lirik, tetapi peringatan peradaban. “Ketika rakyat tak lagi tahu kepada siapa harus bertanya, maka sistem politik, hukum, ekonomi, dan budaya telah kehilangan legitimasi moralnya. Kita hidup dalam kehampaan makna,” ujarnya.
Dengan nada getir, ia menambahkan: “Selama yang dikultuskan masih kekuasaan, bukan kemanusiaan, maka setiap rezim baru hanya akan menjadi wajah lain dari rezim lama. Dan rumput—ya, rumput yang bergoyang—akan terus menjadi saksi bisu bangsa yang kehilangan keberanian untuk jujur. (*)

