TAJDID.ID – Medan || Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, menilai maraknya praktik judi online di Indonesia bukan hanya masalah moral, tetapi juga simbol kegagalan negara dalam menjaga kedaulatan digitalnya. Menurutnya, kebocoran ekonomi akibat judi daring telah mencapai skala yang mengkhawatirkan dan menggerogoti kepercayaan publik terhadap kemampuan negara menegakkan hukum di ruang digital.
“Setiap tahun sekitar USD 8 miliar atau Rp133 triliun hilang dari perekonomian nasional akibat judi online. Itu bukan sekadar statistik, tapi potret nyata kebocoran kedaulatan negara,” ujar Farid, Jumat (3/11).
Ia mengutip pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut judi online sebagai “kejahatan lintas batas” yang merusak moral, ekonomi, dan wibawa bangsa. Namun, menurut Farid, respon birokrasi Indonesia masih bersifat administratif, lambat, sektoral, dan reaktif.
Baca juga: Ribuan ASN Sumut Terlibat Judol, Ethics of Care: Cermin Rusaknya Moral Birokrasi
“Begitu satu situs ditutup, seratus domain baru muncul. Begitu satu rekening dibekukan, puluhan jalur transaksi dibuka lewat kripto, e-wallet, atau rekening perantara. Bandarnya bisa berpindah negara dalam hitungan menit. Sementara aparat kita masih menunggu laporan untuk bergerak,” jelasnya.
Kelemahan Sistemik
Farid menilai kegagalan penanganan judi daring disebabkan oleh tiga hal utama: lemahnya sinergi kelembagaan, minimnya kedaulatan digital, dan absennya strategi global.
Menurutnya, pemerintah masih melihat judi daring semata-mata sebagai pelanggaran moral, bukan sebagai ancaman ekonomi lintas negara. “Padahal di era digital, ancaman moral selalu bermuara pada disrupsi ekonomi,” ujarnya.
Koordinasi antara Kominfo, Kepolisian, OJK, dan Bank Indonesia, kata Farid, belum menghasilkan mekanisme tunggal yang mampu melacak aliran dana secara real-time. Sistem pemblokiran saat ini hanya menutup pintu masuk, bukan memutus jaringan suplai.
Belajar dari Negara Lain
Farid menyebut sejumlah negara telah membuktikan bahwa kejahatan digital seperti judi daring hanya bisa dilawan dengan “tangan besi regulasi” dan “kecepatan teknologi”.
“Arab Saudi menggunakan algoritma AI yang bekerja 24 jam memindai konten daring. Pelaku bukan hanya dipidana, tapi juga diblokir akses digital dan perbankannya,” terang Farid.
Sementara Singapura, kata dia, menerapkan Remote Gambling Act 2014 yang memblokir transaksi keuangan dan iklan judi daring melalui kerja sama lintas lembaga. “Mereka punya Digital Forensic Centre untuk memantau pola transaksi lintas rekening, bukan cuma situs,” tambahnya.
Adapun Korea Selatan, lanjut Farid, menggabungkan algoritma kepolisian dan data perbankan untuk menelusuri kebiasaan taruhan warganya. “Mereka menindak bukan hanya bandar, tapi juga jaringan teknologi yang mendukungnya — mulai dari pembuat aplikasi hingga penyedia iklan daring,” ujarnya.
Efek Domino Sosial dan Ekonomi
Farid menegaskan, kerugian akibat judi online tidak berhenti pada angka triliunan rupiah. Dampaknya merembet ke berbagai sektor, mulai dari produktivitas ekonomi, peningkatan utang konsumtif, disintegrasi keluarga, hingga krisis moral generasi muda.
“Laporan Komdigi menunjukkan mayoritas pelaku berasal dari usia produktif — termasuk ASN, pelajar, dan mahasiswa. Ini candu sosial yang dimanipulasi algoritma,” katanya.
Kedaulatan yang Hilang
Menurut Farid, negara yang gagal menegakkan hukum di dunia digital pada akhirnya akan kehilangan legitimasi di dunia nyata. “Publik melihat aparat sibuk mengumumkan jumlah situs yang diblokir, sementara iklan judi terus bermunculan di media sosial. Ini menciptakan kesan negara besar di atas kertas tapi tak berdaya di lapangan,” ujarnya.
Farid menilai, tantangan utama Indonesia saat ini bukan hanya soal moral, melainkan kemampuan negara beradaptasi dengan kejahatan algoritmik.
“Kedaulatan sejati di era digital tidak lagi diukur dari luas wilayah, tetapi dari kemampuan menjaga moral dan ekonomi warga di dunia maya. Ironisnya, dalam pertarungan itu, Indonesia masih jauh dari posisi menang.” tegas Farid. (*)

