Site icon TAJDID.ID

Ethics of Care: Jangan Jadikan Anak Kelinci Percobaan MBG

TAJDID.ID~Medan || Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, menegaskan pemerintah tidak boleh mengorbankan keselamatan anak-anak dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Menurutnya, kasus keracunan yang menimpa sejumlah pelajar di berbagai daerah harus menjadi peringatan serius bagi negara.

“Presiden mengatakan kasus keracunan hanya 0,00017 persen dari total penerima. Secara matematis itu benar, tetapi bagi seorang anak yang terbaring di IGD, angka itu sama sekali tidak menghibur. Statistik mungkin kecil di atas kertas, tapi rasa sakit dan trauma nyata jauh lebih besar,” ujar Farid, Rabu (2/10).

Farid menilai pemerintah terlalu cepat memaksakan implementasi MBG tanpa kesiapan infrastruktur memadai. Distribusi logistik, standar dapur, hingga sistem uji kualitas makanan dinilai masih lemah. Akibatnya, standar kebersihan kerap diabaikan dan risiko kesalahan teknis meningkat.

“Dengan anggaran hanya Rp6.500 per porsi, pertanyaan sederhananya: makanan sehat apa yang bisa disajikan? Tekanan untuk menekan biaya membuat penyedia memilih bahan murahan dan mengompromikan higienitas. Anak-anak akhirnya yang membayar mahal dari logika murah meriah ini,” kata Farid.

Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah. Sejumlah dapur yang sudah dinyatakan bermasalah tetap dibiarkan beroperasi sebelum evaluasi tuntas. Menurutnya, keselamatan anak tidak boleh diperlakukan sebagai variabel yang bisa dinegosiasikan.

Farid menduga tekanan politik turut memengaruhi jalannya program. MBG dianggap lebih sebagai proyek mercusuar dengan orientasi pencitraan, bukan program sosial yang berpihak penuh kepada anak. “Publik menangkap kesan kuat bahwa pencapaian kuantitas lebih diutamakan daripada kualitas dan keamanan,” tambahnya.

Lebih jauh, ia menekankan dampak psikologis yang kerap diabaikan. Beberapa anak korban keracunan disebut mengalami trauma, bahkan menolak makan di sekolah. “Pertanyaan sederhana dari mulut bocah — Kenapa makanan gratis bikin sakit? — itu pertanyaan moral yang menohok. Jika tidak ditangani, trauma bisa berdampak pada kesehatan mental, pola makan, hingga prestasi akademik,” tegasnya.

Untuk itu, Farid mendesak pemerintah melakukan koreksi mendasar. Mulai dari menghentikan dapur bermasalah, menggelar audit independen yang transparan, menaikkan standar biaya agar kualitas makanan layak, hingga memberi pendampingan psikologis bagi anak-anak korban.

“Transparansi mutlak. Publik berhak tahu data korban, penyebab keracunan, dan langkah perbaikan nyata. Negara hadir bukan dengan pandai menghitung persentase, melainkan dengan memastikan tidak ada satu pun anak yang takut makan siang di sekolah,” pungkasnya. (*)

 

Exit mobile version